Sapi Tinggalan Mbah

Ini bukan cerita tentang Chevrolet Safira. Mobil tua keluaran GM yang sakjane masih angler itu. Tapi, cerita tentang sapi. Ya, sapi atau lembu. Ingon-ingon pelengkap hampir setiap rumah di perdesaan. Hewan ternak yang bau lethong-nya itu aromanya khas dan ngangeni. Dan, wedangan bersama Embah di teras belakang rumah sembari memandang sapi di kandang memang menjadi momentum sungguh yang nentremke ati.

“Le, nek Simbah ora ngingu sapi kui kangelan le arep ngrabok pekarangan lan ngalas,” ujar Mbah Kung kepada Yudis waktu itu. Jawaban itu dipicu oleh pertanyaan anakku (dan sebenarnya juga harapan anak-anaknya Embah). Mengapa di masa pensiun kok Embah masih tetap ngingu sapi? Apa nggak ngrepoti? Bukankah masa pensiun semestinya lebih banyak bersantai? Kalau perlu Embah itu lebih banyak waktu untuk bersantai, berpiknik, atau nengok ke rumah anak-anaknya sembari nungguin cucu-cucunya belajar.

Ya, yang merasa repot sejatinya memang anak-anak Embah. Anak-anak yang masih manja. Anak-anak yang masih pengen ditunggui Embah untuk segala aktivitasnya. Anak-anak yang merasa Embah lebih memperhatikan sapi piaraannya, daripada memperhatikan anak-anak dan cucu-cucunya.

Embah tetap tak bergeming. Sapi itu bagian dari kehidupan mereka. Sejak mereka masih belum pensiun berkarya, rasanya memang tidak pernah kandang di pekarangan rumah itu kosong. Paling pol, kosong itu barang 2 sampai 5 hari, saat Embah ngenomke babon, dan menunggu pengganti dari Pak Blantik yang mengurus jual beli si sapi di Pasar Munggi atau Pasar Siyono.

Ngingu sapi itu memang bagian dari kehidupan Embah. Ngingu sapi di alam desa yang bukan daerah basah sejatinya cukup berat. Abot sanggane, karena saat musim kering, di mana rumput di galengan dan pucuk-pucuk daun munggur atau daun mahoni pun sudah habis, maka di saat itulah energi dan juga dompet benar-benar terkuras untuk tuku tebon dari Ngare buat pakan sapi.

Tetapi, perhitungan Embah memang berbeda dengan perhitungan anak-anaknya yang berpola input-output. Berpola debet-kredit-saldo, kalau surplus ya DO, kalau minus ya NOT TO DO. Bagi Embah, ngingu sapi itu bukan perkara matematis untung-rugi mengusahakan peternakan. Ngingu sapi adalah punya celengan rabok yang top markotop buat kebon dan ngalas. Ngingu sapi adalah jagan saat mereka kepentok butuh. Ngingu sapi adalah bagian dari hidup mereka. Sapi adalah kawan hidup dan bahkan kawan sekerja mereka dalam menjalani hari demi hari. Entah mengapa, Si Sapi yang tadinya njerum itu kok ya langsung bangun dan bersuara ketika mendengar suara Embah mendekati kandang sehabis pulang dari bepergian. Si Sapi itu kok ya menjadi kalem ketika Embah ngobrol dengannya sembari membuatkan komboran makanan dari katul dan dikasih garam krosok itu.

Setelah Mbah Kung berpulang Oktober 2013 lalu, anak-anak pun sepakat memberanikan diri nanting Mbah Putri apakah mau berhenti ngingu sapi atau bagaimana. “Eee, ora Le. Wis pirang-pirang tahun sapi neng kandang kuwi ngancani uripku lan bapakmu. Aku isih kuat. Kepriye wae aku tetep neruske ngingu sapi,” ujar Mbah Putri.

Waktu terus berjalan, sampai kini, babon simmetal itu pun telah melahirkan 3 pedhet. Berkah tak terduga, si sapi itu melahirkan pedhet kembar di akhir tahun 2015 lalu.

Spread the love