Ini bukan tentang Gunung Butak di Jawa Timur yang berketinggian 2800an mdpl itu. Tetapi tentang Gunung Butak di wilayah Patuk Gunungkidul. Entah bagaimana asal-muasal dusun ini dinamai Gunung Butak. Ketidaktahuan saya ini rupanya juga tak terjawab dengan bertanya pada 3 anak muda petugas tiket masuk wisata Air Terjun Kedung Kandang, karena mereka juga tidak tahu tentang riwayat desa mereka.
Nama Gunung Butak barangkali sebagai pengingat bentang alam bagi dusun ini, yaitu dominannya bongkah-bongkah batuan andesit yang botak, karena tidak ada tumbuhan di atas batuan ini. Hampir pada seluruh penjuru dusun ditemukan bongkah-bongkah batuan beku ini. Rupanya ini pula yang menjadi petunjuk bahwa zone utara Kabupaten Gunungkidul itu memiliki karakteristik yang berbeda dengan zone tengah dan zone selatan yang mayoritas berbatu kapur. Jelas, zone utara tentu lebih berair, lebih subur dibandingkan zone tengah dan zone selatan.
Gunung Butak berupa batuan beku cadas hitam ini menjadi bukti nyata, dulu wilayah ini memang merupakan kawasan gunung api. Istilah Gunung Butak itu barangkali menunjuk pada bentang alam atau hamparan tanah yang “botak”. Tidak adanya lapis tanah organik di atas cadas bebatuan. Ini yang menjadikan tidak ada tanaman tumbuh di atas cadas bebatuan tersebut.
Sebenarnya, tidak seluruhnya wilayah padukuhan ini “botak”. Bongkah-bongkah batuan beku yang tersembul di permukaan dan tidak ada tanam tumbuh ini umumnya ada pada bagian permukaan lereng curam dan sepanjang ceruk rendah yang menjadi aliran sungai dari berbagai mata air yang keluar di lereng-lereng bukit.
Dusun Gunung Butak berada di dalam Kawasan Wisata Gunung Api Purba Desa Nglanggeran Patuk. Desa Wisata ini sekarang sangat populer sebagai tempat wisata alam pegunungan dalam rentang elevasi 500 – 700an mdpl. Daya tarik yang ditawarkan di sini adalah puncak-puncak bukit Nglanggeran yang teridentifikasi sebagai bekas gunung api di jaman purbakala, Juga ada kolam air buatan di punggung bukit sebagai tandon air untuk menyirami tanaman buah di sekitarnya. Kolam air buatan ini lebih populer disebut dengan nama Embung Nglanggeran.
Ada banyak wisatawan yang berkunjung ke Dusun Gunung Butak karena tertarik adanya Air Terjun Kedung Kandang dan Air Terjun Talang Purba. Kedua air terjun ini sangat deras alirannya pada musim penghujan. Ini bisa dimengerti, karena sumber air di tempat ini sejatinya bergantung pada air hujan yang meresap ke dalam tanah, kemudian muncul ke permukaan tanah pada lereng-lereng bukit.
Para wisatawan umumnya langsung berkunjung ke lokasi air terjun yang berada di lembah ceruk tanah berupa pelataran batuan beku dengan bongkah-bongkah batu di sana-sini. Mereka begitu menikmati aliran air di sela-sela bebatuan tadi.
Selain aliran air yang melewati bebatuan di dasar sungai yang bertingkat-tingkat mengikuti kontur tanah, sebenarnya ada hal lain yang menarik di tempat ini. Apa itu? Di sela-sela bebatuan itu, terdapat teras-teras lahan yang diusahakan oleh penduduk sebagai lahan persawahan padi. Persawahan yang diairi secara tradisional dari air sungai yang dialirkan ke samping melalui pipa-pipa kecil baik dari bambu, selang, atau paralon. Jadi jangan harap menemukan bendung, kemudian saluran primer, sekunder, tersier, dan kwarter di tempat ini sebagaimana bangunan irigasi teknis yang dioperasikan secara standar.
Apabila mengamati para petani yang setia menggarap teras-teras lahan sempit tersebut, maka apa yang dimaksud dalam ungkapan “sedumuk bathuk senyari bumi” sungguh memperoleh makna mendalam di sini. Benar bahwa sekecil apapun luasan tanah, apalagi lapis-lapis tipis tanah di atas lempeng batuan beku ini akan mampu memberikan hasil atas jerih lelah usaha pertanian yang dilakukan para petani.
Berkunjung ke Gunung Butak sejatinya mengajarkan kesetiaan, ketekunan, dan juga kepasrahan manusia-manusia perdesaan, khususnya para petani dalam melakoni kehidupan. Mereka terus berusaha menjaga ketebalan lapis-lapis tanah organik di atas lempeng cadas bebatuan itu melalui sistem terasering. Dari sistem pengairan tradisional melalui pipa bambu yang zigzag tak beraturan itu mereka para petani itu sungguh mencintai bebatuan, tanah dan air sebagai bagian dalam hidup dan kehidupannya. Apapun yang terjadi mereka terus menerus mengusahakan kelanggengan siklus gabah menjadi winih padi, batang padi muda, batang padi dewasa yang mrekatak, dewasa, dan siap di-ani-ani. Sebagian besar kemudian diolah menjadi bulir-bulir padi yang siap dikonsumsi. Dan tak lupa, sebagian kecil dimuliakan menjadi gabah wiji dan kembali ditanam kembali pada saatnya.
Dari teras-teras sawah tak seberapa luas di Gunung Butak inilah sesaat sebelum memetik hasil pertanian, para petani di wilayah Patuk termasuk di dusun ini tak lupa senantiasa mengucap syukur melalui upacara Mboyong Dewi Sri. Mboyong Dewi Sri Mulih ke tempat yang dimuliakan oleh para petani, yaitu di lumbung-lumbung padi milik mereka. Karena itu pula dapat dimengerti, para petani tetap tak bergeming manakala dianggap kolot, ndesit, bahkan musrik atau menduakan Tuhan di mata para penganut agama-agama modern.
Dari teras-teras sawah tak seberapa di Gunung Butak inilah juga dapat dimengerti, bahwa mengupayakan bulir-bulir padi itu butuh kesetiaan, komitmen, kerja keras. Juga gemi nastiti atau efektif dan efisien. Tidak menyia-nyiakan lapis tanah organik yang tak seberapa. Tidak menyia-nyiakan air hujan yang membasasi bumi, dan air tanah yang keluar dari perut bumi. Oleh karena itu pula dapat dimengerti, siapapun yang menyia-nyiakan nasi entah di meja makan rumah pribadi atau di restoran hanya karena yang lebih penting adalah foto selfie, maka sesungguhnya juga telah menyia-nyiakan penyertaan Sang Pemberi Kehidupan.
..
Views: 147