Ini catatan kecil kenangan perjalananku ke Kampung Abouyaga, Distrik Mapia, Kabupaten Nabire tahun 2007 lalu. Wilayah ini sekarang sudah tidak lagi menjadi bagian Kabupaten Nabire Provinsi Papua, tetapi kini sudah dimekarkan menjadi Kabupaten Dogiyai Provinsi Papua Tengah.
Abouyaga merupakan kawasan permukiman yang merupakan bagian dari subkultur masyarakat Pegunungan Tengah Papua. Wilayah yang berlokasi kira-kira (hanya) sejarak 140 km di sebelah selatan pusat kota Nabire, namun sungguh masih sangat terisolir.
Belum ada jalan raya yang tembus ke wilayah ini. Jika masyarakat ada keperluan pergi ke kota Nabire, maka mereka harus berjalan kaki turun gunung melintas jalan setapak selama 3-4 hari untuk sampai ke poros jalan antara Nabire dan Enarotali.
Dari sinilah baru ada “tanda-tanda kehidupan”, maksudnya bisa menumpang kendaraan sejenis Mitsubishi L-200 atau Ford Ranger menuju ke kota Nabire dengan tarif yang lumayan juga Rp 200 ribu per orang untuk jarak tempuh sekitar 80 km. Menduduk data statistik, penduduk di Distrik Mapia menurut ada sekitar 11ribuan jiwa. Kawasan permukiman pada umumnya justru berada di area datar pada puncak-puncak pegunungan.
Tutupan lahan hutan di kawasan pegunungan ini sebenarnya sudah menipis dengan selesainya HPH di masa-masa lalu. Menurut informasi yang diperoleh, wilayah pegunungan ini memiliki potensi cadangan mineral tambang yang sangat signifikan. Menurut beberapa orang yang pernah kami temui di Nabire, potensi tambang di pegunungan ini tak kalah dari tambang yang dikelola oleh PT Freeport di Mimika. Benar atau salah belum diperoleh data yang valid. Tetapi fakta yang cukup menarik, di Kabupaten Nabire terdapat penambangan emas yang dilakukan oleh masyarakat secara swadaya. Pengelola dan pekerja tambang tersebut kebanyakan dari daerah Sulawesi Selatan dan dari daerah Sangir dan Talaud.
Kampung Abouyaga sendiri merupakan pusat dari Distrik Mapia. Di sana sudah ada Kantor Distrik (kecamatan), meskipun sehari-hari masih banyak kosongnya…hehe.. Juga sudah ada SD Negeri Inpres, meski saat ke sana sekolah libur karena para guru sedang ke kota Nabire untuk suatu urusan. Jumlah murid dari kelas satu sampai dengan kelas 6 ada sekitar 35 anak.
Ada juga Puskesmas Pembantu dengan seorang ibu bidan. Di dekat lapangan yang merupakan meeting point dari warga kampung itu juga terdapat sebuah gereja Katolik. Gereja bagi masyarakat Papua memiliki peran yang cukup signifikan. Program-program pemerintah kebanyakan tersosialisasikan lewat perkumpulan komunitas gereja tersebut.
Kehidupan masyarakat masih erat dan bergantung dengan alam sekitarnya. Pola kehidupan masyarakat terlihat masih dekat dengan pola hidup masyarakat meramu (food gathering) dari hasil hutan, meski sedikit demi sedikit sudah mulai bergeser dengan pola berkebun dan beternak dalam taraf sangat sederhana.
Dari pengamatan selama di lapangan, kondisi keterisolasian wilayah tampaknya tidak sedikitpun membuat mereka menjadi susah dan menyerah menjalani kehidupan. Gelak tawa masyakarat tetaplah menyertai mereka, meskipun kehidupan dari hari ke hari dijalani apa adanya. Bangun tidur, mencari talas ke kebun, ke sungai, kembali berkumpul di rumah, dan seterusnya. Setiap hari seperti itulah yang dijalani. Sesekali berkumpul saat ada acara di lapangan, di gereja, di kantor Distrik, juga di sekolah.
Trip kami ke lokasi tersebut untuk melaksanakan penugasan lapangan guna melakukan perencanaan teknis bandar udara perintis di wilayah kecamatan pegunungan dengan ketinggian sekitar 2500 meter di atas permukaan laut. Tujuannya agar segera dapat dibangun bandara kecil yang berfungsi sebagai pintu penghubung kegiatan sosio-ekonomi kehidupan dengan wilayah sekitarnya. Dan yang paling mendesak adalah untuk mempermudah transportasi logistik bahan pokok ke kawasan permukiman di pegunungan ini.
Banyak hal kuperoleh, tetapi sulit untuk kuceritakan dalam kata-kata. Sepulang dari tugas dari sana, anggota tim kerjaku sepertinya juga lebih banyak saling berdiam diri. Aku paham, sulit rasanya menerima kondisi kehidupan suatu komunitas dalam suasana serba terpencil, serba terbatas, serba minim, yang benar-benar membuat sesak rasa di dada.
Saat-saat beristirahat aku sempat berbincang dengan pak tua mantan kepala kampung. Ia bisa berbahasa Indonesia karena dulu pergi mengembara sampai di daerah Asmat dan Merauke, juga sempat mengenyam sekolah di jaman Belanda. Kembali ke kampungnya ini, pak tua mantan kepala kampung ini secara fisik memang juga kembali dengan pakaian khasnya berupa koteka. Ini yang belum kami mengerti sampai kini. Yang jelas, dari pak tua ini ada banyak informasi yang kuperoleh tentang apa dan bagaimana penduduk di kampung ini.
Masyarakat ikut membantu pekerjaan yang kami lakukan. Sedikit yang mampu menangkap pembicaraan dalam Bahasa Indonesia, tetapi kami tertolong dengan anak-anak sekolah dan tetua kampung yang bisa menangkap pembicaraan kami. Bahasa isyarat dan bahasa hati terbukti ampuh menunjang keberhasilan penugasan ini. Di lokasi camping pun mereka ikut menunggui kami sembari membakar talas, menikmati rokok tembakau lintingan dan terkadang rokok kretek yang sengaja kami siapkan.
Bagaimanapun, aku dan kawan-kawanku bersyukur, kelancaran penugasan kami di sana sangat banyak ditolong oleh ketulusan dan keramahan masyarakat Kampung Abouyaga yang setia mendampingi di lapangan sampai datangnya jemputan Bel 412 dari Nabire. Laporan teknis bisa terselesaikan, tetapi kondisi keterpencilan, keterbatasan, dan tawa lepas anak-anak di saya selalu terbayang-bayang.
Perjalanan ke permukiman di atas pengunungan yang terpencil itu seakan membangunkanku dari hari-hari yang kadang kujalani hanya dengan tidur dan mendengkur. Betapa luar biasa hebat pandangan dan keinginan luhur pada bapa pendiri republik ini. Negeri kelautan Nusa-Antara, yang dirintis leluhur semenjak Sriwijaya – Majapahit, aneka rupa pesonanya memang mesti dibangun dari generasi ke generasi dengan penuh cinta, cerdas, dan rasa bersaudara.
Semoga saudara-saudaraku di sana itu segera mampu meraih kecemerlangan, sebagaimana yang telah dinikmati sebagian kecil wilayah republik tercinta ini.
..