Rombongan Campursari

Sabtu Legi, 28 Desember 2013, siang hari. Di jalan raya Semanu – Karangmojo meluncur ke arah utara sebuah truk penuh muatan perkakas gamelan.

Bagiku, wira-wirinya truk atau colt pengangkut gamelan sungguh suatu pemandangan yang khas dan ngangeni. Begitu “Gunungkidul Banget”. Mengapa? Ini semacam menjadi penanda, bahwa akan ada pertunjukan Campursari atau Karawitan di seputar Karangmojo, pada nanti malam atau besok minggunya.

Ya, terlahir sebagai manusia Gunungkidul alam bawah sadar nampaknya tak bisa lepas dari warisan masyarakat kawasan pegunungan karst selatan yang setia nguri-uri hidup dalam tradisi komunal. Ini barangkali kadang sumir dilihat dari kacamata modernitas yang mengedepankan kata kunci “efektif” dan “efisien”.

Faktor keterbatasan sarana dan prasarana hidup dan tantangan alam barangkali turut menempa masyarakat menaruh respek pada nilai ketergantungan hidup satu sama lain dalam komunitas masyarakat. Karena itu, tradisi “njagong” atau orang kota menyebutnya dengan “kondangan” merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat.

Kebersamaan dan paseduluran dalam setiap keluarga yang mempunyai hajat atau “ewuh” itu secara ekspresif puncaknya diwujudkan dalam bentuk seni pertunjukan “ala ndeso”. Seni pertunjukan yang menghias hajatan yang banyak diminati adalah pertunjukan musik Campursari. Ya, musik campursari memang lebih rancak dan lebih merakyat dibandingkan pertunjukkan Karawitan yang “mriyayeni” dan memang “abot sanggane” karena melibatkan personil yang lebih banyak untuk penabuh gamelan jangkep.

Konon masyarakat Jawa setidaknya mengenal 3M penting dalam daur kehidupannya. Yaitu: Metu, Manten, dan Mati. Ya, peristiwa kelahiran, mantenan, kematian adalah saat dimana antarkeluarga saling bantu-membantu dalam segala pernak-pernik kerepotan, entah itu diminta maupun tidak diminta.

Mungkin nampaknya masih jarang ketika sebuah keluarga ada peristiwa kelahiran atau kematian terus menyelenggarakan pertunjukkan Karawitan atau Campursari. Tetapi, saat berlangsung hajatan mantenan atau supitan, di situlah suasana pertemuan komunitas menjadi semakin meriah, hidup dan cair dengan adanya pertunjukan Campursari atau Karawitan Jangkep.

Ya, seni pertunjukkan Campursari atau Karawitan memang membuat suasana menjadi “gayeng regeng” yang pada akhirnya menumbuhkan kepuasan batin sebuah perjumpaan tamu dan tuan rumah. Apalagi bila dalam hajatan tersebut mengundang artis campursari yang sudah kondang, pastilah banyak mengundang decak kekaguman.

Terlepas dari itu semua, sesungguhnya seni pertunjukkan Campursari atau Seni Karawitan memang berperan menjadi tali penghubung kepada kesadaran kolektif bahwa semua manusia itu bersaudara dan saling membutuhkan. Tak pandang derajad, pangkat dan jabatan semua pasti melakoni daur 3M dalam kehidupannya. Oleh karena itu, pada setiap ada peristiwa “jagongan” semua yang diudang untuk turut mahargya ucap syukur, memberi-diberi restu, saling menguatkan dan mendaraskan doa satu sama lain.

Setiap menikmati pentas petunjukkan Campursari atau Karawitan biasanya terpaku pada “wah ini penyanyi atau pesindennya cantik banget ya!” atau “itu niyaganya hebat banget permainannya!”.

Tetapi, sejatinya ada banyak orang yang kadang luput dari perhatian, mereka sebenarnya turut terlibat dalam kesuksesan pentas Rombongan Campursari atau Karawitan. Ada yang spesialis bertugas untuk angkut-angkut gamelan, ada operator sound system, bahkan pak sopir dan pak kernet truk/colt diesel.

Tanpa kerja keras mereka, pertunjukkan Campursari atau Karawitan tentu tak bisa berjalan mulus tentunya.

Ya, hidup isinya memang SALING. Saling bantu-membantu, saling tolong-menolong, saling melengkapi, dan saling-saling lainnya.

Spread the love