Hakikat manusia merupakan kesatuan tunggal antara perkara-perkara jasmani dan rohani. Demikian penegasan JB Mangunwijaya yang tertulis dalam Wastu Citra: Pengantar Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur.
Konon manusia tidak hanya berbahasa cakap dengan lidah, tetapi juga dengan lambaian tangan, anggukan kepala, kerling mata, bergegas lari menyambut, dekapan sayang, jengkel membelakangi, tinjuan dengki, dan lain sebagainya. Tanpa ucapan mulut sepatahpun, ulah dan gerak gerik itu sudah berbahasa, sudah membahasakan diri. Artinya, isi batin yang tersimpan di dalam tampak dalam ulah dan gerak yang dibahasakan oleh tubuh tersebut.
Ya, tubuh manusia memang menghubungkan yang-serba-dalam-batin dengan alam semesta yang-di-luar-diri., khususnya yang berciri materi. Fungsi-fungsi fisik dan biologik manusia ber-satu-alam dan ber-satu-hukum dengan dunia semesta fisik di sekeliling, dan bahkan dengan seluruh alam raya. Bila makan, minum, tidur atau bernafas, dan sebagainya, asas-asas proses makan, minum, melihat, mendengar, dan sebagainya yang dijalankan manusia akan sama dengan asas-asas penglihatan, pendengaran, pernafasan, yang dapat dijumpai juga dalam dunia flora dan fauna. Itu baru dari segi proses fisika, kimia, dan lain-lainnya. Tentulah ada proses-proses lain yang menuntun, memberi arah, dan menjiwai gerak-gerik fisik manusiawi tadi, sehingga sikap dan gerak manusia memiliki hakikat dan arti yang mengatasi dunia flora, fauna, dan alam materi belaka; dan begitu manusia melihat, mendengar, berpikir, bercitarasa secara manusiawi dan semakin manusiawi. Manusia sebagai makhluk bertubuhlah yang memungkinkan itu semua bisa terjadi.
“Agar menjadi roh manusiawi yang sempurna, manusia harus semakin menjadi badan”, kata pemikir JB Metz. Tentu sebaliknya, agar menjadi badan manusiawi yang sempurna, manusia harus semakin menjadi roh. Kata Romo Mangunwijaya, sebenarnya para pemikir nenek moyang bangsa Indonesia sudah memahami kesatuan tunggal jasmani dan rohani ini. Salah satunya sebagaimana yang tersurat dalam Serat Dewa Ruci (Kisah Bima mencari Air Suci dalam epos Mahabarata) yang demikian bunyinya:
Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadhag lan batin’e, pepindhane wadhah lan isine…
(yang disebut hidup sejatinya tak lain adalah leburnya tubuh jasmani dengan batinnya, ibarat bejana dan isinya…).Jeneng wadhah yen tanpa isi, alah dene arane wadhah, tanpa tanja tan ana pigunane.
(biar bejana tetapi bila tanpa isi, sia-sia disebut bejana, tidak semestinya dan tidak berguna).Semono uga isi tanpa wadhah yekti barang mokal..
(demikian juga isi tanpa bejana sungguh sesuatu hal yang mustahil…).Tumrap urip kang utama tartamtu ambutuhake wadhah lan isi, kang utama karo-karone.(demi hidup yang baik tentulah dibutuhkan bejana dan isi, sebaiknyalah kedua-duanya….)
Jadi, esensi manusia memang bukan dualisme jasmani dan rohani, melainkan kesatuan tunggal hakiki: rohani-jasmani. Karena itu, segala indera dan citarasa manusia yang tergetar oleh suatu situasi atau penggairahan fisik alami, langsung itu menyentuh juga ke dalam perasaan, menimbulkan reaksi dan sikap kejiwaan. Hati akan dengan mudah berdendang bersama-sama dengan kicau riang burung-burung di pagi hari yang cemerlang. Sebaliknya anak kecil dapat menangis takut disuruh ke dalam kamar yang gelap dan sempit. Mengapa bisa seperti itu? Karena langsunglah situasi fisik akan diterjemahkan dan dirasakan selaku keadaan batin.
Menjadi dapat dimengerti ketika seseorang berada di suatu fasilitas publik (rumah sakit, mall. plaza, terminal, bandara, dll) yang sempit, pengap, terkesan gelap, cari parkir saja susah, dan lain-lain sebisa mungkin akan berusaha cepat-cepat meninggalkannya. Sebaliknya, manusia akan menjadi kerasan dan pengen berlama-lama bila berada di fasilitas publik yang lapang, terang, sirkulasi lancar, dan dengan segala kemudahan-kemudahan lainnya.
Memang benar, segala suka-duka dan getaran perasaan maupun proses pemikiran yang terjadi dalam diri manusia tidak dapat lepas, bahkan mengandalkan persatuan yang erat dengan perwujudan benda-benda maupun makhluk-makhluk di seluruh alam raya. Masih menurut Romo Mangun, ada kata-kata dari filsuf Perancis A Merleau Ponty, yang dapat menjadi jembatan yang baik untuk mengerti tentang arti sejati tubuh manusia:
“Tubuh adalah kendaraan kehadiran kita di dunia. Untuk makhluk yang hidup, memiliki tubuh berarti bergumul di dalam suatu lingkungan tertentu, berhadapan dengan hal-hal tertentu dan melibatkan diri dengan tanpa henti…. Tubuh dalam arti mulia adalah ruang yang mengungkapkan diri”.