Manusia sejatinya adalah makhluk yang senantiasa bertanya. Selalu menyelidiki keberadaan dirinya, siapa dirinya, siapa yang menciptakan, untuk apa dia berada, dan seterusnya, dan sebagainya. Demikian tulis Franz Magnis-Suseno dalam karyanya Menalar Tuhan.
Cakrawala Tak Terbatas
Manusia adalah makhluk yang bertanya. Ia selalu bertanya. Apap pun yang berhadapan dengannya dipertanyakan. Manusia adalah makhluk yang tidak pernah sampai. Tak ada pengetahuan apapun yang bisa membuatnya tidak mau bertanya lebih lanjut. Mengapa manusia demikian?
Karena ia memang memerlukan pengetahuan. Ada 2 kenyataan pada manusia yang tampaknya berlawanan dan yang membuatnya selalu ingin mengetahui lebih jauh. Pertama tentu karena hanya dengan tahu manusia dapat bertindak. Ia bertindak karena segala macam alasan, di antara yang paling dasar adalah bahwa iia terdorong memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Jadi, apapun yang dirasakan dibutuhkannya. Ya makan dan minum dan lain-lain kebutuhan jasmani, tetapi manusia juga kebutuhan akan manusia lain, dan seterusnya. Untuk itu, ia harus tahu. Misalnya, tahu dari mana ia memperoleh makanan atau di mana ibunya.
Tetapi, kedua, yang khas bagi manusia adalah bahwa ia selalu mau tahu lebih jauh. Itu karena sifat manusia yang kedua: manusia berwawasan tak terbatas. Pengetahuan manusia selalu terbatas, tetapi wawasannya tidak terbatas. Maka tak pernah ada pengetahuan yang dapat memenuhi cakrawala perhatiannya, dan karena itu manusia bertanay terus. Ia terdorong untuk selalu bertanya terus karena ingin mencapai pengetahuan yang lebih benar lagi. Manusia, lain daripada binatang, bahkan ingin tahi demi untuk tahu. Karena itu ia juga bertanya tentang Tuhan.
Pemikiran filosofis tentang Tuhan disebut Filsafat Ketuhanan. Seperti filsafat pada umumnya, begitu juga filsafat ketuhanan merupakan sebuah ilmu. Melalui ilmu, manusia memastikan, menata dan mengembangkan pengetahuannya secara objektif dan sistematis. Filsafat Ketuhanan memikirkan apa yang berkaitan dengan “Tuhan” secara objektif dan sistematik. Sebagai filosof, ia memikirkan hal “Tuhan” bukan dari sudut-sudut tertentu, melainkan secara mendasar. Apakah nalar manusia dapat mengetahui sesuatu tentangNya: tentang eksistensinya, tentang sifat-sifatnya, tentang hubungannya dengan manusa dan dunia? Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran objektif, sistematik dan mendasar tentang Tuhan.
Pertanyaan tentang Tuhan
Pertanyaan tentang Tuhan tidak datang dari udara kosong. Manusia sudah lama menyembah Tuhan dalam pelbagai bentuk, dan filsafat di mana pun tertarik untuk memikirkan “Tuhan” itu dari pelbagai sudut. Tetapi sekarang, di abad 21, hal “Tuhan” lebih mendesak. Karena dalam 300 tahun terakhir terjadi suatu perkembangan yang baru dalam sejarah umat manusia. Kepercayaan akan Tuhan bukan lagi barang tentu. Dengan menyingsingkan “fajar budi”, masa Pencerahan, di abad ke-17 dan ke-18, filsafat menjadi kritis terhadap agama. Sesudah itu, filsafat dan juga pelbagai ilmuwan bahkan menola adanya Tuhan.
Dalam abad ke-20, Filsafat Ketuhanan sendiri seakan-akan menghilang dari wacana filsafat. Filsafat abad ke-20 memikirkan manusia dan pengetahuannya, bahasa manusia, masyarakat dan hal budaya, tetapi tidak banyak memikirkan Tuhan. Atau sekurang-kurangnya, Tuhan tidak lagi menjadi objek utama diskursus filsafat. Apa sebabnya?
Kenyataan itu kiranya akibat dua perkembangan (yang tentu berkaitan secara dialektis). Di satu pihak filsafat tidak meminati hal Tuhan lagi. Sesudah melalui tahap ateisme, banyak filosof secara diam-diam sepakat bahwa filsafat tidak dapat bicara tentang Tuhan. Kita akan membicarakan pandangan ini. Di situ sangat terasa pengaruh Immanuel Kant (1724-1804).
Menurut Kant, Tuhan tidak menjadi objek pengetahuan manusia, jadi nalar tidak dapat mengetahui apa pun tentangnya (meskipun Kant menyatakan bahwa fakta kesadaran moral merupakan petunjuk akan adanya Tuhan). Lagi pula, ateisme pun sudah out of date (kalau filsafat menyangkal bahwa kita dapat mengetahui sesuatu tentang Tuhan, apalagi disangkal bahwa kita bisa tahu bahwa tidak ada Tuhan; jadi ateisme dengan sendirinya tidak dapat dibuktikan). Karena itu, para filosof, searah dengan kecenderungan umum dalam pasyarakat modern, berpendapat bahwa hal Tuhan adalah kepercayaan masing-masing orang. Jadi (sebagian besar) filsafat berpendapat bahwa filsafat tidak dapat bicara tentang Tuhan.
Di lain pihak, di antara orang beragama sendiri kelihatan ada kecenderungan semakin kuta untuk menolak pemikiran rasional tentang Tuhan, atau sekurang-kurangnya menganggap tidak bermanfaat. Dia sudah yakin akan imannya, jadi akan adanya Tuhan, dan iman itu bagaimana pun melampaui kemampuan penalaran manusia. Apalagi penalaran manusia cenderung kritis dan tidak simpatik terhadap kepercayaan religius. Maka buat apa memikirkan Tuhan? Kalau kita percaya pada Tuhan, kita yakin akan Tuhan, dan kalau sudah yakin, untuk apa mengesampingkan keyakinan religius kita sendiri. Sikap menolak pemikiran rasional tentang Tuhan disebut fideisme. Fideisme menyatakan bahwa nalar tidak bisa sampai pada Tuhan.
Sikap ini tentu paling kuat di antara mereka yang berkecenderungan fundamentalis. Fundamentalisme – yang pertama muncul sebagai reaksi di beberapa kalangan Protestan di Amerika Serikat atas Darwinisme – berpegang pada arti harafiah dan ketidak-sesatan seratus persen Kitab Suci. Kaum fundamentalis menyatakan bahwa mereka mendasarkan keyakinan mereka sematta-mata pada iman. Mereka menolak segala pemikiran kritis tentang iman.
Fundamentalisme yakin bahwa bagi orang beriman tak mungkin ada keragu-raguan tentang imannya, maka ia menolak penalaran murni manusiawi tentang Tuhan. Tetapi, juga banyak orang beriman, bahkan beberapa teolog yang tidak fundamentalis, berpendapat bahwa iman kepercayaan dan keyakinan agama adalah urusan individual. Kalau orang menerimanya, itulah haknya, dan kalau ia memang meragukannya, tak usah meributkan iman orang yang tidak ragu-ragu.
Tetapi justru dalam situasi di mana seakan-akan mereka yang memakai nalar menolak Tuhan, atau lebih tepatnya, menganggap Tuhan hal yang tidak dapat diketahui, orang percaya kepada Tuhan ditantang untuk mempertanggungjawabkan keyakinannya akan Tuhan secara rasional. Soalnya, bagi orang beriman, percaya kepada Tuhan bukan salah satu kepercayaan subyektif seperta orang dapat percaya pada reinkarnasi, melainkan sebuah kebenaran yang menjadi dasar seluruh kehidupannya dan menyeru untuk disampaikan juga kepada orang lain. Jadi bukan semacam hobby religius. Wajarlah kalau dituntut agar orang tidak asal percaya sesuatu, melainkan dapat mempertanggungjawabkannya.
Mempertanggungjawabkan Iman Secara Rasional
Iman dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dalam 2 arti: secara teologis dan secara filosofis. Secara teologis, iman dipertanggungjawabkan apabila dapat ditunjuk bahwa apa yang diimani, serta kehidupan yang dijalani berdasarkan iman itu, adalah sesuai dengan sumber iman itu. Jadi teologi berdasarkan wahyu agama yang bersangkutan. Wahyu itulah sumber kebenaran. Karena setiap agama mempunyai wahyu atau dasarnya sendiri, setiap agama mempunyai teologinya sendiri juga. Pertanggungjawaban iman secara teologis terjadi dalam rangka refleksi dan diskursus iman di dalam umat agama yang bersangkutan. Orang dari luar tidak dapat masuk karena tidak mengakui wahyu agama itu sebagai sumber kebenaran.
Pertanggungjawaban filosofis iman adalah berbeda. Di situ yang mau ditunjukkan rasionalitas iman itu. Dan itu dilakukan dengan memakai nalar. Nalar dapat memeriksa suatu keyakinan atau ajaran agama dari beberapa sudut. Misalnya dari sudut konsistensi logis: Apakah ada pertentangan di antara ajaran-ajaran agama itu. Lalu, dari sudut pengetahuan tentang dunia dan masyarakat: Misalnya apakah ajaran tentang penciptaan dunia dapat dipertanggungjawabkan dari sudut pengetahuan ilmu-ilmu alam tentang alam raya, perkembangan hayat di bumi, dan lain sebagainya. Dapat juga dari sudut pengalaman batin. Filsafat Ketuhanan sebagai filsafat tidak mendasarkan diri pada ajaran atau wahyu agama tertentu, melainkan bertanya apa saja secara nalar dapat dikatakan tentang iman itu.
Filsafat, tentu saja, tidak dapat membicarakan seluruh iman kepercayaan suatu agama, melainkan hanya intinya, keyakinan iman bahwa ada Tuhan. Soalnya, kebanyakan unsur dalam kepercayaan dan kehidupan suatu agama berdasarkan ajaran dasar atau sumber agama itu serta perkembangan dalam sejarah umat yang bersangkutan. Filsafat Ketuhanan membatasi diri pada pertanyaan paling dasar: Bagaimana kepercayaan bahwa ada Tuhan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Pertanggungjawaban Rasional
Kami memilih istilah “mempertanggungjawabkan” iman akan adanya Tuhan “secara rasional”. Dengan demikian, kami mengambil posisi yang bisa disebut “moderat”. Posisi lebih “keras” akan mencoba membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Jadi diberikan bukti-bukti, yaitu pertimbangan-pertimbangan logis rasional yang secara logis “memaksa” untuk mengakui bahwa ada Tuhan. Pembenaran filosofis eksistensi Tuhan itu biasanya mengambil bentuk bahwa “data-data tertentu tidak dapat dijelaskan kecuali kita menerima bahwa ada Tuhan”.
Tetapi, kami berpendapat bahwa “pembuktian” semacam itu sangat sulit dilaksanakan secara meyakinkan. Maka kami membatasi diri pada pertanggungjawaban rasional, dalam arti lebih terbatas. Kami akan berusaha memperlihatkan bahwa percaya akan adanya Tuhan sangat masuk akal. Itu pun masih dalam dua arti, di mana arti yang pertama lebih lunak dan yang kedua lebih keras. Kami berpendapat bahwa pertanggungjawaban yang akan kami gariskan mendukung arti yang lebih keras, namun sekurang-kurangnya dengan jelas dan terang benderang mendukung arti yang lebih lunak.
Arti lebih lunak adalah: Kami memperlihatkan bahwa percaya pada eksistensi Tuhan (yang tidak kelihatan) sangat masuk akal karena banyak kenyataan alam luar maupun alam batin dapat dimengerti dengan jauh lebih mudah apabila kita meneria adanya Tuhan.
Arti lebih keras mengatakan: Ada beberpaa kenyataan alam luar maupun alam batin yang sangat sulit dijelaskan kalau tidak ada Tuhan. Jadi, meskipun data-data itu tidak memaksa secara intelektual untuk menerima eksistensi Tuhan, namun kenyataan-kenyataan itu tidak dapat dipahami kalau eksistensi Tuhan disangkal.
Yang mau kami tunjukkan adalah, bahwa orang dengan akal yang sehat, yang mampu bernalar, tidak mudah percaya, tidak bertakhayul, hidup di alam modern dan menghayatinya sebagai lingkungan kurtural biasa, berkomunikasi boasa dengan lingkungannya, kalau tetap percaya pada Tuhan, tidak melakukan sesuatu yang aneh, tidak masuk akal, inkonsisten dengan kemodernannya. Kami bahkan mau memperlihatkan bahwa adanya Tuhan sangat masuk akal.
Namun pendekatan itu memang dari perspektif orang beriman, Orang yang biasa tidak percaya pada Tuhan atau tidak pernah memikirkannya, barangkali tidak merasa tertarik pada pertimbangan-pertimbanganini. Tetapi orang beriman – misalnya penulis ini yang merasa bernalar dan berasionalitas biasa serta krasan dengan budaya modernitas – sangat merasa perlu memastikan bahwa ian religiusnya “masuk akal” – kalau pun, barangkali, tidak dapat “dibuktikan hitam-putih”. Orang beriman yang ingin hidup secara rasional dan akrab dengan budaya modernitas tidak dapat tidak harus dapat mempertanggungjawabkan imannya. Itulah yang dicoba dilakukan dalam Filsafat Ketuhanan.
—–
Ref: Menalar Tuhan, Franz Magnis-Suseno, Kanisius, 2006. pp 21-24.