Keyakinan Ketuhanan Mula-mula

“Rupa-rupanya tak ada masyarakat di dunia yang tidak beragama,” demikian tulis Franz Magnis-Suseno dalam buku Menalar Tuhan. Lebih lanjut, dirinya menyatakan, sebagian besar bangsa-bangsa di bumi menganut salah satu dari agama-agama “besar”. Namun, catatan pentingnya, bahwa agama-agama “besar” baru muncul sesudah umat manusia mencapai tingkat budaya yang cukup maju.

Sebelumnya, manusia tentu saja sudah beragama. Lukisan-lukisan prasejarah, seperti misalnya di dinding-dinding goa-goa di Ardeche Gorge di Perancis yang diperkirakan diciptakan 32.000 tahun lalu memperlihatkan bahwa manusia waktu itu sudah menghormati kekuatan-kekuatan gaib.

Di pelbagai daerah di Afrika, di antara kaum Indian di Amerika dan “suku-suku asli” di Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia dan kepulauan Pasifik, ketuhanan dihayati bukan melalui sebuah ajaran eksplisit (seperti dalam agama-agama besar), melainkan dalam kenyataan setiap hari. Dengan kepercayaan-kepercayaan, mitos-mitos yang diceritakan, ritus-ritus, doa-doa, dan pelbagai kebiasaan lain. Agama dalam arti ini merupakan dimensi yang meresapi semua bidang kehidupan.

Apakah pendapat Pater Wilhelm Schmidt SVD (1868-1954) – yang pernah berkarya di Flores, – bahwa semua suku-suku asli percaya kepada satu Tuhan adalah betul, tidak perlu kita putuskan? Yang jelas, dalam penghayatan keagamaan asli itu, seluruh alam diresapi oleh kekuatan-kekuatan gaib yang tidak kelihatan. Peristiwa-peristiwa alami, seperti banjir dan kekeringan, orang kejatuhan pohon atau dimangsa binatang buas, apa pun yang menimpa manusia, mengungkapkan kekuatan-kekuatan yang tidak kelihatan itu.

Kekuatan-kekuatan itu ada yang melindungi desa, ada juga yang mengancam. Kekuatan-kekuatan itu bisa bersifat roh-roh yang berada di tempat-tempat tertentu, bisa telokalisasi dan sebuah fetis, dan bisa ada “Tuhan” personal di atas segala-galanya. Melalui sesaji, ritus, dan doa-doa, dengan memperhatikan pelbagai pantangan, dan dengan mengatur seluruh cara hidup dalam kesesuaian dengan kepercayaan bersama, orang berusaha untuk hidup dengan aman.

Keagamaan asli ini tidak merupakan bidang tersendiri dan terpisah dari bidang-bidang kehidupan manusia lainya. Realitas alami, sosial (masyarakat), dan adi-duniawi menyatu. Apa pun yang dilakukan, misalnya bercocok tanam, atau mempersiapkan pesta perkawinan, sekaligus merupakan pekerjaan, pesta bersama, dan penghayatan alam gaib.

Ketuhanan sering dihayati sebagai kekuatan yang meresapi alam. Di Polinesia, kekuatan disebut mana. Pandangan dunia Jawa asli memahami alam sebagai berdimensi dua: ada dimensi lahir dan dimensi batin. Yang pertama adalah kelihatan. Tetapi alam kelihatan hanya dapat dimengerti dari dimensi batin, dari kekuatan-kekuatan yang ada di belakangnya. Pelbagai roh merupakan personalisasi kekuatan gaib itu yang dapat dibayangkan sebagai energi di belakang apa yang terjadi. Melalui doa-doa dan upacara, keharusan-keharusan tertentu, melalui perayaan-perayaan, tetapi juga melalui dukun dan sistem perhitungan hari beruntung (petungan), orang Jawa menjamin bahwa kekuatan-kekuatan gaib itu tidak merugikan, melainkan menguntungkannya. Di belakang itu semua dihayati kekuatan Sang Mahakuasa.

Yang khas bagi penghayatan ketuhanan asli adalah bahwa tidak ada perpisahan antara alam dan Yang Ilahi. Alam sendiri bagi manusia dilihat sebagai numinus atau gaib. Artinya, alam – sawah, pohon, sumur, batu besar, harimau, dan seterusnya – tidak pernah dihayati hanya secara “empiris” atau inderawi belaka, melainkan selalu dan dengan sendirinya sebagai penuh makna dan kekuatan adi-duniawi. Ketuhanan di sini dihayati sebagai realitas numinus yang meliputi kehidupan seluruhnya, sebagai dimensi hakiki seluruh realitas.

Unsur kehidupan sehari-hari, peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sendiri seperti kelahiran, menjadi akil-balik dan kematian, pekerjaan di rumah dan di sawah, gejala-gejala alam, tetapi juga ketenteraman dalam masyarakat dihayati sebagai ungkapan kekuatan gaib alam raya. Tak ada perpisahan antara gejala alami dan makna rohani-religius, tidak pelu dibentangkan jembatan antara pengalaman sehari-ahri dan alam rohani-religius. Yang alami dihayati secara religius.

Salah satu implikasi penghayatan ini adalah, bahwa ateisme tidak mungkin dan tidak akan dimengerti. Yang Ilahi bukan sesuatu yang dipikirkan, sebuah teori, melainkan dialami dalam realitas inderawi. Karena tak ada keduaan sedikitpun antara realitas inderawi dan alam gaib. Penghayatan religius ini mirip situasi di mana orang yang saya cintai hadir: Kehadirannya akan mewarnai kesibukan sehari-hari saya, sehingga saya hayati sebagai ekspresi cinta yang membahagiakan. Begitu ketuhanan dalam penghayatan asli menjadi suasana menyeluruh kehidupan manusia.

——

Catatan:
Numinus dalam Bahasa Inggris “numinous“, dari kata Latin “numen“, dewa/sesuatu yang Ilahi/Keilahian. Arti kata ini mirip dengan “kudus” (the Holy). Sesuatu yang “numinus” memancarkan sinar Ilahi. Rudolf Otto memakai istilah ini untuk menunjuk pada pengalaman khas religius yang mengalami realitas adi-duniawi/kudus sebagai mysterium tremendum dan fascinans, sebagai rahasia yang membuat manusia sekaligus bergetar dan terpesona, yang sekaligus menakutkan dan mengasyikkan.

Ref: Menalar Tuhan, Franz Magnis-Suseno, Kanisius, 2006. pp 27-29.

Spread the love