Koroway Batu

Bila sempat mengetik frase “korowai batu” ke mesin pencari Google, umumnya langsung merujuk pada penjelasan “cannibal tribe in Papua” atau suku kanibal pemakan daging manusia yang masih ada di pedalaman Provinsi Papua. Ya, benar,… tetapi itu dulu..

Kini era kanibalisme sudah terkikis. Tinggal cerita renyah sembari guyon, ketika saya dan kawan-kawan mendengarkan Pak Yoab sang kepala suku bercerita bagaimana dulu ia dan beberapa warganya begitu menikmati memakan daging manusia dari sub suku yang lain yang dikalahkan dalam peperangan antarsuku. “Wah… adik ini lengannya tebal, empuk sekali kalau dimakan,” demikian gurauannya sambil memegang salah satu kawan saya yang terlihat pucat mendengarkan pembicaraan itu.

Suku Korowai Batu merupakan subklan dari Suku Korowai. Mereka tinggal di pedalaman tenggara Papua. Tepatnya di wilayah hutan lebat di perbatasan Kabupaten Boven Digoel dengan Kabupaten Mappi, Kabupaten, Asmat, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Yahukimo. Permukiman mereka sporadis dalam kawasan hutan yang jelas masih terisolir.

Hanya ketinting atau sampan kecil dengan motor tempel dan berjalan kaki menerabas hutan adalah harapan mereka untuk bepergian dan berhubungan dengan pihak luar. Sesekali berkah itu datang dengan adanya pesawat udara C6 Porter Pilatus AMA, MAF atau Yajasi yang turun di perairan Sungai Deram Danauwage untuk mengirim BAMA (bahan makanan), obat-obatan, atau pertukaran misionaris volunteer yang berkarya “membuka peradaban modern” di wilayah tersebut.

Mengapa mereka “membuka peradaban modern”? Jujur, ketika pihak pemerintah daerah atau pemerintah pusat republik ini belum menjamah suku yang terkenal dengan kanibalisme itu, para misionaris itulah yang memperkenalkan “tatanan kehidupan manusia modern”. Iya, merekalah yang secara intensif sejak 2007/2008 lalu mengajarkan dan mencontohkan “hidup secara baru”. Berhenti berperang, berhenti memakan orang, turun dari rumah-rumah di atas pohon, mengenalkan hunian rumah panggung sederhana, belajar berkebun pisang atau ubi jalar, mengenalkan tradisi berbaju dari semula telanjang bulat atau berpakaian pelepah daun sekadar penutup aurat, mengajarkan relasi manusia dengan Sang Pencipta dalam tatanan keagamaan modern, belajar berbahasa Melayu (Indonesia) yang memang terbukti mampu menjadi lingua-franca di daratan kepulauan Nusantara ini.

Kini, manusia-manusia Korowai Batu ini nampaknya terus mengalami perubahan. Generasi tua terus bertransformasi dari pola kehidupan meramu apa yang bisa dimakan dari hutan (food gathering) yang berpindah-pindah hunian menjadi penghuni tetap suatu permukiman dan belajar menjadi pekebun dalam taraf dasar. Anak-anak mereka kini juga sudah mau bersekolah dengan model pembelajaran di kelas, meski belum sepenuhnya bisa berjalan setiap hari. Dua orang guru sukarelawan dari Kalimantan dan Nias diutus oleh sebuah yayasan pendidikan di Jayapura untuk membuka “dunia baru” bagi sekitar 30-an anak yang belajar di kelas I sampai kelas IV sekolah dasar. Salah satu guru dan seorang tokoh masyarakat juga menceritakan sudah ada 7 anak yang akan diikutsertakan dalam Ujian Nasional SD tahun ini. Mereka akan dititipkan mengikuti Ujian Nasional di salah satu SD di Firiwage, sebuah pusat distrik (kecamatan) yang sudah lebih berkembang di bagian selatan wilayah ini.

Jamahan langsung dari pemerintah terhadap warga Koroway Batu memang baru terjadi pada 2012 lalu. Itu dengan kunjungan langsung UKP4B (Unit Kerja Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat) ke warga suku Koroway Batu. Kunjungan tersebut kemudian direspon dengan perbaikan dan pembangunan airstrip yang semula dibangun oleh masyarakat dan misionaris secara swadaya. Transformasi airstrip menjadi bandar udara yang layak untuk penerbangan menjadi jalan pertama agar keterisolasian masyarakat dan wilayah ini teratasi. Program itu telah mulai dilakukan sejak 2013 sampai saat ini. Pergerakan orang dan barang menjadi lebih mudah dilakukan dari dan ke wilayah ini, dan tentunya terus diupayakan agar memungkinkan dengan biaya yang semakin terjangkau.

Masyarakat Koroway Batu yang semula terkesan angker dan menyeramkan kini tinggal cerita tutur para generasi tua. Tawa canda anak-anak muda Koroway Batu saat mereka bersama-sama belajar, bermain, dan bercengkerama masih terngiang-ngiang dalam ingatan, meski sudah 2 hari lalu saya dan teman-teman meninggalkan permukiman di tengah hutan belantara itu. Semoga pembangunan yang dilakukan saat ini benar-benar mampu membangun manusia yang sesungguhnya.

****

Dari catatan perjalanan tahun 2016. Ditulis di Merauke, Sabtu Kliwon 30/4/2016.

Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *