Adoh Ratu Cedhak Watu

Ratu dan batu itu sejatinya selalu berdekatan. Masih gak percaya? Lihatlah rumah atau istana para raja atau para pangeran pada umumnya berdinding batu-batu tebal menjadikan kokoh nan perkasa.

Pada masa kini, keperkasaan, keanggunan, dan juga kemegahan rumah berdinding batu para raja dan pangeran itu juga terwarisi menjadi kebiasaan sebuah rumah dinas atau rumah pribadi para pejabat pemerintah dan juga pejabat negara, dan juga para priyayi yang dari sononya memang sudah turah-turah harta karunnya. Lantas, apa salah seandainya rakyat biasa punya rumah yang juga berdinding batu nan kokoh dan megah? Gak ada yang salah kok.

Rakyat biasa juga memiliki kesempatan membuat rumah dinding batu megah dan perkasa. Dulu-dulu orang gampang terperangkap, “Ooo.. itu bisa sugih ndrebala ki pancen nduwe buta ijo, thuyule akeh, dll-dsb.” Dalam konteks kekinian, bisa dipastikan bagaimana jerih lelah usahanya yang tiada henti pagi-siang-malam. Bagaimana seseorang memutar otak dan mempergunakan kecerdasan akal, kecerdasan emosional, dan juga kecerdasan spiritualnya sehingga mampu mewujudkan keberhasilan itu dalam rumah berdinding batu yang megah dan perkasa itu.

Lha, kalo bisa mbangun rumah gedung magrong-magrong itu karena menyalahgunakan kewenangannya, mlekotho orang lain, atau singkat kata dari hasil usaha yang gak bener itu gimana? Itulah konteks kekinian dari nduwe prewangan, nduwe buta ijo, ngingu thuyul, dan sejenisnya itu.

Lantas, terus apa hubungannya dengan “adoh ratu cedhak watu”?

Ensiklopedia Gunungkidul (2013) menuliskan, “Adoh ratu cedhak ratu” adalah ungkapan klasik masyarakat Gunungkidul mempunyai arti “jauh ratu dekat batu”. Ungkapan yang menggambarkan letak geografis yang jauh dari pusat pemerintahan (istana di kutha nagara sana). Walaupun mereka lebih mengenal kehidupan sawah, ladang, gunung dan bebatuan dan agak tertinggal dalam akses informasi, ekonomi dan politik, bukan berarti peradaban mereka lebih rendah.

Ungkapan orang Jawa, adoh ratu cedak watu sejatinya adalah metafora sikap andhap asor atau kerendah-hatian. Mereka selalu merasa masih harus senantiasa belajar kepada alam tentang makna hidup yang sesungguhnya, dan belajar hidup jauh dari adab keraton yang adi luhung.

Jadi, bagi masyarakat Gunungkidul, antara RATU dan BATU itu sesungguhnya tidak “adoh” khan? Batu-batu cadas kapur di perbukitan dan batu-batu kapur yang terpendam di bawah lapis tanah di pekarangan dan ladang itu telah menjadi “RATU”, telah menginspirasi masyarakat untuk bisa hidup berdekatan dengan BATU dan “membuat ROTI dari BATU”.

Gak percaya? Lihatlah, terasering batu tertata rapi di perbukitan Gunungkidul itu? Terasering itu menjadi benteng kokoh menahan laju erosi tanah, sehingga ladang-ladang perbukitan tetap dapat digunakan para among tani untuk tetap bisa menanam padi atau palawija.

Lihatlah, rakyat para penggergaji batu atau penambang batu itu. Dari tetesan keringat mereka, SPP anak bisa terbayarkan. Buku tulis, pensil, bollpoint bisa dibeli. Anak-anaknya bisa lulus sekolah sampai tuntas. Dari bongkah-bongkah dan balok-balok gergajian batu itu juga tumbuh generasi tangguh pekerja keras, dan juga ada pengusaha, enterpreneur, birokrat, ekonom, akuntan, dokter, lawyer, insinyur, sastrawan, seniman, filsuf, dll.

Batu itu sesungguhnya menjadi simbol kehadiran “ratuning urip”, Sang Pengada kehidupan yang dekat di hati. Penginspirasi hidup kreatif masyarakat penghuni tanah perbukitan karst di sebelah timur Kali Opak yang disebut kula wangsa Gunungkidul itu.

Spread the love