Colt T120 barangkali menjadi angkutan yang paling populer pada era 70-80an. Di jaman saya masih sekolah SD/SMP, mobil pengangkut barang yang telah dimodifikasi tersebut menjadi sarana public transport dari perdesaan ke pusat kota kabupaten.
Begitu populer kendaraan produksi Mitsubishi tersebut, sehingga dimana-mana orang menyebutnya nge-kol sebagai ganti ungkapan naik angkutan umum. “Le, iki udan, mengko mangkat sekolah ngekol wae, ora usah ngepit,” itulah kira-kira pesan para orang tua kepada anaknya yang setiap hari bersepeda agar berangkat sekolah naik angkutan umum karena pada hari tersebut hujan.
Masyarakat perdesaan bagaimanapun sangat dimudahkan dengan trayek angkutan umum Colt T120 tersebut. Di desa saya dahulu juga ada trayek angkutan kol tersebut. Trayeknya dari Dusun Gunung Bang sampai dengan Standplaat Lawas yang persis berada di depan Pasar Argosari.
Pemerintah kemudian membuat aturan, angkutan perdesaan tidak boleh masuk terminal lama, sehingga angkutan umum dari desa saya hanya ngedrop penumpang sampai di Taman Bunga Wonosari. Terminal bayangan di Taman Bunga itupun kemudian digusur lagi ke kebun kosong di samping toko kayu di Jl Pramuka dekat gedung sekolah SMEA Negeri.
Kini angkutan perdesaan di desa saya tersebut telah lenyap. Mereka yang mengusahakan angkutan tersebut rupanya mrotholi satu per satu karena tergilas perubahan jaman. Semakin jarang masyarakat yang menggunakan angkutan umum. Kepemilikan dan penggunaan sepeda motor oleh masyarakat nampaknya menjadi salah satu penyebab “runtuhnya” pengusahaan angkutan umum perdesaan tersebut.
Saat ini sisa-sisa angkutan umum Colt T120 lebih banyak digunakan buat angkut-angkut barang di desa. Kendaraan tersebut digunakan untuk berbagai keperluan angkutan barang, seperti: belanja ke pasar, mengangkut sapi ke Pasar Hewan Siyono atau ke Pasar Munggi, usung-usung tenda kursi hajatan, usung-usung rabok kandang ke ladang, usung-usung hasil pertanian, dan sebagainya.
Pada umumnya para pengusaha angkutan telah meremajakan armada miliknya dengan mobil yang lebih muda, seperti Suzuki Carry, Colt Diesel PS, juga Isuzu NHR/NKR. Namun demikian, di beberapa wilayah di Gunungkidul ternyata masih ada Colt T120 yang tetap berjaya beroperasi.
Desember 2014 lalu, dalam perjalanan ke Panggang, saya masih menjumpai Colt T-120 model angkutan penumpang yang sedang ngetem menunggu penumpang di Pasar Wiyoko Playen, Rekan saya, Basuki Rahmanto menceritakan, angkutan Colt T100 ini memang tetap eksis di trayek Playen – Paliyan – Saptosari.
Saya berhenti sejenak untuk mengamati. Kondisi kendaraan tersebut memang masih terawat. Bahkan tutup velgnya pun kinclong, mengkilat dengan logo khas tiga berlian yang dicat warna merah. Tampak beberapa simbah-simbah yang habis belanja ke pasar mulai naik kendaraan tersebut yang akan segera berangkat ke arah Trowono.
Menjumpai angkutan umum Colt T100, angan pun kembali ke masa-masa sekolah jaman dulu. Kalau pas lagi hujan, bapak dan ibu meminta saya dan adik untuk ngekol saja, tidak perlu naik sepeda. Berangkat dan pulang sekolah dengan ngekol itu punya keasyikan tersendiri.
Bicara angkutan Colt T120, saya teringat para sedulur yang dulu menggantungkan hidupnya dari bisnis angkutan perdesaan ini. Lek Sapari Banyubening, sebelumnya kerja pernah kerja di Pom Bengsin Pertamina yang kemudian berbisnis angkutan kol sampai punya beberapa armada. Lek Gandung Bendungan, yang menjadi petugas pengatur keberangkatan penumpang dan penarik ongkos (alias calo) di terminal bayangan Taman Bunga Wonosari. Juga Lek Riyanto putrane Mbah Rebi, meski bekerja di Pemda Gunungkidul, dirinya punya 2 armada yang disewakan untuk angkutan charteran. Colt T120 pada masa kejayaannya telah memberikan jalan rejeki kepada banyak orang.
Naik kendaraan bareng dengan teman dan juga simbah-simbah yang berangkat ke pasar atau pulang dari pasar. Sebelum kendaraan berangkat, sopir atau kernetnya mengatur tempat dulu terlebih dahulu. Penumpang simbah-simbah dan kaum perempuan biasanya diutamakan bisa duduk, sehingga anak-anak muda terkadang sudah tidak kebagian tempat duduk, jadinya mesti ikut dengan nggandhul di belakang.
Berdiri di besi pancikan dan tangan memegang handle besi yang terkadang sudang taiyengan (berkarat). Akibatnya baju seragam sering jadi memerah warna karat besi.
…