Tumbukan antara lumpang dan alu yang diayunkan penuh greget oleh Mbah Wandi, Mbah Yati, Mbah Wajib dan rombongannya di balai dusun dekat Sendang Beji. Bebunyian itu seakan mengajak siapapun warga desa kembali meresapi, siapa sebenarnya jati diri setiap insan yang lahir di dunia ini. Setiap mendengar hentak pukulan ritmis musik perdesaan bernama gejog lesung sejatinya membawa alam bawah sadar kembali mengingat: bahwa siapapun hadir di dunia mengada karena penyelenggaraan Sang Pengada.
Karena itu bisa dipahami, masyarakat tradisional perdesaan sangat menghormati peristiwa tumbukan antara lingga dan yoni sebagai peristiwa yang terhormat dan sakral, mesti diresmikan dengan upacara yang dalam keagamaan disebut pernikahan suci. Masyarakat tradisional pasti akan marah secara kolektif apabila ada warganya yang nuthuk-nuthuk lingga dan yoni seenaknya sendiri. Itu dipandang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan dalam level yang sama dengan perilaku binatang.
Gejog lesung di perdesaan juga menjadi penanda bahwa masyarakat telah memasuki musim menumbuk padi panenannya. Gejog lesung membawa imajinasi pada gotong royong masyarakat perdesaan dalam mentransformasi bulir-bulir padi menjadi beras dengan alat tradisional lumpang dan alu. Masyarakat bergiliran menumbuk padi dari rumah ke rumah secara gotong-royong. Peluh dan rasa capek hilang karena irama dinamis lesung yang ditumbuk alu bertalu-talu, dan yang pasti karena berubahnya bulir-bulir padi menjadi beras.
Lumpang dan alu dalam ekonomi modern telah berubah menjadi mesin selepan yang hampir ada di setiap desa. Masyarakat tinggal membawa karung-karung padi ke selepan. Tinggal menunggu proses penggilingan, dan pulang sudah bisa membawa hasil berupa bulir-bulir padi dan juga bekatulnya untuk makanan sapi kesayangan di rumah.
Uwos, beras, rice, oriza sativa adalah makanan pokok masyarakat Asia dan saat ini juga masyarakat Melanesia yang telah menggusur sagu dan umbi-umbian sebagai makanan pokok mereka. Karena itu, beras menjadi komoditas yang utama dan pertama. Padi bagi masyarakat agraris juga dipandang sebagai wujud penyertaan Sang Pengada Kehidupan dalam kehidupannya. Karena itu, masyarakat agraris memakai metode tradisional arkais, yaitu mitologi memuliakan Dewi Sri. Sang Dewi pemberi kesuburan pada tanah tempat masyarakat bercocok tanam padi.
Berkali-kali mendengar pertanyaan yang sama ketika mau berangkat meninggalkan rumah pada akhirnya menjadikan diri ini mampu tersadarkan. Rupanya inilah liturgi bapak dan ibu untuk mengingatkan anak-anaknya. Bahwa pertanyaan itu sejatinya begini, “Le, isih nduwe beras kanggo panguripan anak bojomu? Le, kowe lan anak bojomu terus nduwea pangandel karo Gustimu?”
Kembali kepada gejog lesung yang diperagakan saat warga dusun berkumpul sehabis Idul Fitri. Sekelebatan saya melihat Lek Wardi yang jauh-jauh mudik dari Bogor larut dalam kegembiraan turut menyanyikan tembang Lumbung Desa. Dalam bayangku, betapa penuh syukur Lek Wardi menjalani hidup yang mengalir sampai kini. Kerasnya perjalanan kehidupan yang dimulai berangkat merantau ke Jakarta di tahun 70-an. Bermodalkan semangat membara mau dan mampu melakoni kerja keras apapun di tempat orang, dan pada akhirnya berbuah manis mampu mengantarkan anak-anaknya sampai lulus perguruan tinggi pertanian terkenal di Bogor.
Ayo Dhi, njupuk pari nata lesung nyandhak alu! Ayo Yu, padha nutu yen wis rampung nuli adang! Ayo Kang, ndang tumandang yasa beras ana ing lumpang! [Lumbung Desa, Ki Nartosabdo]
.