Siapa bilang Gunungkidul itu ijih ndeso banget dan terisolir? Rasa-rasanya kok nggak ya. Boleh dikatakan, saat ini akan sulit mencari celah atau alasan agar wilayah Gunungkidul itu dikategorikan sebagai daerah terisolir agar diglontorkan dana sekian milyar dana dari pusat untuk wilayah ini.
Diakui atau tidak diakui, dari ujung timur laut sampai ujung barat daya wilayah Gunungkidul sudah dapat ditempuh dengan motor atau mobil dalam waktu kurang dari setengah hari. Demikian pula dari perbatasan Patuk-Piyungan sampai batas Rongkop-Wonogiri bisa ditempuh dengan kendaraan kurang dari setengah hari. Alasan apa lagi yang bisa dipertahankan untuk mengkategorikan sebagai wilayah terisolir.
Ini sangat kontras dengan wilayah pedalaman di Pegunungan Tengah Papua. Meski dalam satu wilayah kabupaten, di sana masih ada banyak permukiman dalam suatu kecamatan belum terhubungkan dengan permukiman di wilayah kecamatan lainnya. Bila pengen berhubungan ya kudu berjalan kaki menyusuri rintisan jalan setapak di antara rerimbunan pepohonan di hutan. Jangankan membayangkan asyik nikmatnya naik Djangkar Bumi, Asri, Birowo, atau Rawit Mulyo. Di sana kalau mau bepergian tanpa jalan kaki ya kudu naik pesawat udara kecil-kecil itu, seperti Porter Pilatus atau Grand Caravan. Kalau beruntung ya bisa numpang helikopter yang kadang-kadang terbang ngedrop penumpang atau barang.
Karena itulah, kalau bepergian ke sana pasti didapati anak-anak kecil dan orang tua yang berkerumun dan mengelilingi orang baru yang datang. Sudah menjadi pemandangan sehari-hari melihat anak-anak kecil yang jarang mandi, kadang masuk sekolah kadang bebas bermain ke mana sana. Masih ada banyak anak-anak dan orang-orang tua yang berlalu lalang pake baju itu-itu saja atau bahkan hanya berkoteka saja. Tidak atau jarang mandi menjadi kebiasaan sehari-hari, hidung meler dan umbelen menjadi hiasan sehari-hari. Itulah gambaran riil sebuah bagian wilayah negeri kita dan juga sedulur-sedulur kita yang memang masih terisolasi dan masih terus berproses dan berjuang keras mengupayakan kesejahteraannya.
Kualitas sarana dan prasarana pendidikannya pun sudah sangat-sangat buagus sekali. Gurunya juga lebih berkualitas para sarjana dan lebih banyak magister bahkan ada yang bergelar doktor. Untuk ujian nasional pun sudah nggak jamannya pakai kertas, anak-anak sudah biasa ikut ujian secara online.
Anak muda Gunungkidul saat ini pasti beda dengan anak muda Gunungkidul jaman dulu. Target kuliah anak-anak muda jelas gak hanya diploma atau sarjana muda seperti generasi jaman 70-80an dulu. Karena itu tidak menjadi asing anak muda Gunungkidul saat ini memiliki gelar sarjana, master, dan doktor. Pokoknya dah ngetop lah, dan akan sulit untuk mengkategorikan Gunungkidul itu menjadi wilayah yang terisolir.
Rasa-rasanya sudah gak ada yang perlu dikritisi lagi tentang keterisolasian wilayah dan keterisolasian warga Gunungkidul terhadap dunia luar itu. Kemajuan wilayah Gunungkidul rasa-rasanya sudah masuk dalam kategori rata-rata kemajuan secara umum negara Indonesia. Bahkan mungkin di atas rata-rata ya.
Apakah kemajuan kualitas masyarakat Gunungkidul sudah dalam kategori rata-rata kemajuan kualitas masyarakat Indonesia? Jawabnya tentu ada pada kita masing-masing. Sudahkah kita menjadi manusia Gunungkidul yang berkualitas?
Untuk mengingat kembali dan menajamkan pisau bedah dalam menilai diri kita sendiri, saya sengaja mencuplik tulisan jurnalis dan sastrawan Mochtar Lubis, “Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungan Jawab”. Dalam tulisannya, Mochtar Lubis (1977) menyoroti sifat-sifat mayoritas manusia Indonesia baik yang negatif maupun positifnya. Ia menengarai ada 6 sifat-sifat negatif, yaitu: 1) munafik atau hipokrit, 2) enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya, 3) bersikap dan berperilaku feodal, 4) percaya tahyul, 5) artistik dan berbakat seni, dan 6) lemah watak dan karakternya.
Namun demikian, Mochtar Lubis juga mencatat sifat-sifat positif, yaitu: masih kuatnya ikatan saling tolong, pada dasarnya berhati lembut, suka damai, punya rasa humor, serta dapat tertawa dalam penderitaan. Manusia Indonesia juga cepat belajar dan punya otak encer serta mudah dilatih keterampilan. Selain itu, punya ikatan kekeluargaan yang mesra serta penyabar.
Stereotip negatif yang dilempar Mochtar Lubis itu jelas-jelas mengundang pedebatan hebat. Ada banyak tokoh besar yang memprotes, dan juga larut dalam silang pendapat.
Nah…. Bagaimanapun, penilaian atau catatan negatif atau positif tersebut dapat menjadi batu loncatan dalam kita menjawab sudahkah kita menjadi manusia Gunungkidul yang tidak terisolir? Sudahkah kita menjadi manusia Gunungkidul yang berkualitas?
…