Menjadi Ksatria

Saat itu Arjuna masih sibuk menghadapi pasukan Jayadatra. Khrisna yang melihat Satyaki mulai lemas berkata kepada Arjuna, “Dhananjaya, Satyaki tampak kehabisan nafas. Bhurisrawa mungkin akan berhasil membunuhnya. Satyaki datang untuk membantumu, tapi ia terpaksa bertarung dengan  Bhurisrawa karena ditantang olehnya. Pertarungan mereka tidak seimbang, karena Satyaki tidak bersenjata lengkap. Kalau engkau tidak membantu Satyaki, ia pasti mati dibunuh Bhurisrawa.”

Arjuna tidak menghiraukan kata-kata Krishna. Ia terus bertarung melawan Jayadatra. Krishna terus terus mengawasi pertarungan Satyaki dengan Bhurisrawa. Dilihatnya putra Somadatta mengangkat Satyaki yang sudah lemas dan membantingnya keras-keras ke tanah. Cucu Sini itu langsung terkapar tak sadarkan diri. Bhurisrawa lalu menyeretnya, bagai singa menyeret mangsanya ke sarangnya.

“Satyaki sudah tak berdaya ketika diseret Bhurisrawa. Ia putra terbaik bangsa Wrisni yang masuk ke medan Kurukshetra untuk membantumu melawan Kaurawa. Di depan matamu dia akan dibunuh, tetapi engkau tidak berbuat apa-apa,” kata Krishna lagi.

Arjuna bimbang, pikirannya bercabang. Katanya, “Bhurisrawa datang ke medan perang ini bukan karena tantanganku dan sebaliknya ia juga tidak menantang aku. Bagaimana aku bisa memanah dia sementara aku masih sibuk bertempur dengan musuhku? Aku bimbang. Pikiranku tidak mengijinkan berbuat demikian, padahal teman sejatiku yang datang untuk membantuku hendak dibunuh di depan mataku.”

Lama Arjuna ragu-ragu, tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ribuan anak panah berlesatan di angkasa, dilepas dari busur Jayadatra. Arjuna terpaksa melayani serangan itu. Krishna terus mendesak Arjuna agar menolong Satyaki yang tak sadarkan diri, sementara Bhurisrawa siap mengayunkan pedang untuk menebas lehernya. Ketika Arjuna menoleh ke belakang, dilihatnya Bhurisrawa berdiri di atas tubuh Satyaki sambil mengangkat pedang tinggi-tinggi, Sesaat kemudian kesatria itu mengayunkan pedang ke arah leher Satyaki.

Secepat kilat Arjuna melepaskan anak panahnya. Anak panah itu melesat cepat, menyambar dan memotong tangan Bhurisrawa. Kesatria itu jatuh terpelanting ke tanah sambil memegang pedangnya. Bhurisrawa menoleh ke arah Arjuna.

“Ah, anak Dewi Kunti,” katanya. “Aku tidak mengira serangan ini datangnya dari engkau. Menyerang dari belakang tidak sesuai dengan watak kesatria. Aku datang untuk bertarung melawan seseorang. Muka dengan muka. Berhadapan. Tapi engkau menyerangku dengan licik dari belakang. Benarlah kata yang bijak: sesungguhnya tak seorang pun dapat menahan pengaruh iblis dalam dirinya, tidak juga engkau yang sebenarnya patut dihormati.

“Dhananjaya, jika nanti kau kembali ke tempat saudaramu, Yudhistira, bagaimana engkau akan menceritakan perbuatanmu ini? Hai Arjuna, siapa yang mengajarkan kelicikan kepadamu? Apakah Batara Indra, Mahaguru Drona atau Kripa? Tata krama apa yang telah mengijinkanmu menyerang seseorang dari belakang? Engkau bertindak seperti keturunan orang hina. Perbuatan nistamu telah mengotori kehormatanmu. Perbuatanmu ini pasti dipengaruhi oleh Krishna.

“Aku tahu, ini bukan sifatmu. Ini pasti karena kau terpengaruh oleh Krishna. Ingatlah, tak seorang kesatria pun akan merendahkan diri dengan melakukan tindakan tercela itu,” Demikian Bhurisrawa mengutuki Arjuna dan Krishna.

Partha menjawab, “Wahai Bhurisrawa, engkau telah uzur, usia tua membuat penilaianmu berkarat, Ketahuilah, tidak mungkin aku diam saja, jika di hadapanku kawan yang hendak menolongku terancam jiwanya. Kawanku hendak kau sembelih, padahal ia dalam keadaan tak sadarkan diri. Lebih baik aku masuk neraka jika tidak bisa menghalangi perbuatanmu.”

“Engkau katakan pikiranku telah dirusak Krishna. Tetapi tuduhanmu itu kauucapkan dengan pikiran kacau. Satyaki datang kemari tanpa membawa senjata dan dalam keadaan lelah. Ia berniat membantuku, tetapi kau malah menantangnya.”

“Setelah ia kau tundukkan sampai tak sadarkan diri, dengan keji kau berniat menebas lehernya. Watak kesatria seperti apa yang mengijinkan kamu menginjak-injak tubuh orang yang tak sadarkan diri? Tidakkah kau ingat bagaimana prajurit Kaurawa bersorak-sorak dan menari-nari seperti iblis mengeroyok anakku, Abhimanyu, yang sudah tidak berdaya dan tanpa senjata?”

“Wahai kesatria besar, ketahuilah, aku telah bersumpah untuk melindungi semua temanku dalam jarak sebidikan anak panahku. Takkan kubiarkan ia terbunuh di tangan musuhku. Itulah sumpah suciku. Sekarang renungkan perbuatanmu terhadap Satyaki. Bagaimana mungkin engkau menyalahkan perbuatanku? Kau melancarkan kutukan tanpa pengertian yang benar dan tepat.”

Mendengar kata-kata Arjuna, Bhurisrawa terdiam Kemudian ia bangkit dan meletakkan anak panahnya dekat kakinya. Lalu ia duduk di atas anak panah itu, seolah-olah duduk di tikar dengan kaki bersila. Kesatria tua itu bersamadi dan melakukan yoga.

…….

(Nyoman S Pendit, Gramedia Pustaka Utama, 2003; Mahabharata, pp 337, 338, 339).

Spread the love