Merti Dusun atau rasulan adalah pesta rakyat yang sebenar-benarnya. Mengapa pesta rakyat yang sebenar-benarnya? Karena greget masyarakat mengikuti merti dusun mampu mengalahkan perayaan Natal, Idul Fitri, atau perayaan 17 Agustusan sekalipun. Itu setidaknya yang saya pahami dari mengikuti dan menjalani perayaan merti dusun di sebuah perdesaan kawasan karst Gunungkidul.
Menjadi pesta rakyat yang sebenar-benarnya, karena dalam merti dusun ada semacam kesadaran bersama-sama (collective consciousness) untuk terlibat mengikuti. Juga ikut merasakan dan pada akhirnya ikut mengekspresikan luapan kegembiraan atas “wulu wetuning bumi” atau mewujudkan ucap syukur atas hasil pertanian yang telah diperoleh.
Jauh sebelum ada model Dana Keistimewaan DIY yang saat ini gencar digelontorkan untuk membiayai berbagai perhelatan kebudayaan, masyarakat perdesaan sesungguhnya pasti menggelar acara merti dusun. Setiap tahun, sehabis masa panen mereka pasti menyelenggarakan pesta rakyat secara swadaya.
Ungkapan kegembiraan yang tiada tara itu diwujudkan dalam kesibukan memasak spesial di masing-masing rumah. Membuat nasi dan ingkung spesial untuk kemudian dibawa ke rumah Pak Dukuh di Balai Padukuhan atau rumah Dukuh. Mbah Kaum memimpin doa besama sebelum kembul bujana dimulai. Setelah doa dan kembul bujana di padukuhan, kemudian memberangkatkan arak-arakan gunungan ke Balai Desa di mana puncak acara merti dusun diselenggarakan. Oya, jauh hari sebelum dilaksanakan merti dusun, masyarakat juga melakukan kerja bakti resik-resik sumber air komunal di masing-masing padukuhan.
Untuk menambah kemeriahan pesta, selalu ditampilkan reog yang mengiringi perjalanan ancak atau gunungan menuju Balai Desa. Gerak tarian reog gagrak perdesaan Gunungkidul sungguh sederhana, apa adanya, kasar karena bukan seni tari keratonan. Baju perlengkapan para peraga reog pun demikian pula. Boleh dibilang acak-adut campur-campur gak karuan. Pokoknya menjadi antitesa dari baju perlengkapan penari merak atau penari gambyong yang pentas di keratonan atau pendapa kabuaten. Bunyi ritmis tetabuhan pengiring reog yang bersahaja sangat mudah dikenali dan gampang ditirukan setiap orang. Dominasi pukulan kendang sangat kental dalam pertunjukan reog. Dominasi pukulan kendang itulah yang terkadang menimbulkan degupan di hati, seolah menjadi pemanggil siapapun untuk datang kembali bersatu merayakan pesta orang desa. Itulah ciri pokok reog perdesaan, seni pertunjukan pemersatu masyarakat.
Satu hal yang menjadi pertanda perayaan merti dusun ini. Semua anggota masyarakat menanggalkan kediriannya masing-masing, entah itu petani, tukang batu, bakul pasar, pamong desa, guru sekolah negeri, pejabat kecamatan atau pejabat kabupaten pun lebur menyatu dalam kebersamaan pesta rakyat. Jelas ini sangat berbeda dengan suasana perayaan Natal atau Idul Fitri atau perayaan keagamaan lainnya yang justru terlihat kental mempertebal siapa sesungguhnya si paria, si sudra, kemudian siapa masuk jajaran kesatria, dan siapa yang brahmana.
Merti dusun atau rasulan pada akhirnya membawa kepada kesadaran kolektif bahwa setiap anggota masyarakat desa itu adalah sesama dalam perjuangan bertahan hidup di tengah kerasnya alam. Kesadaran kolektif bahwa kerja keras mencangkul atau membajak tanah kering, menebar benih sewaktu hujan turun, menyiangi, merawat pertumbuhan tanaman, sampai panenan adalah hampa tanpa ridhaNya.
apa niku, apa niku, dadi kewajiban baku,
ayo bersih desa, murih adoh suker sakit,
eee gliyak-gliyak, anggliyak tumandang karya…