Palakrama Jati dan Wiyata Jati

Tanah Gunungkidul yang berunsur dominan batuan kapur dan lapis tipis tanah subur di atasnya memang menjadi lahan kering tandus ketika musim kemarau datang. Sifat dasar batuan kapur yang porous menjadikan air begitu mudah mengalir dan meresap ke dalam perut bumi. Itulah kenapa air hujan yang dimuntahkan di tanah Gunungkidul sulit untuk tinggal lebih lama di atas permukaan tanah atau di dalam lapisan tanah. Karena itulah pada saat musim kemarau kawasan ini menjadi kering kerontang merekah. Pepohonan meranggas hilang dedaunannya. Sumur-sumur dangkal dan telaga kembali menjadi mengering hilang airnya. Karena itu, curah hujan dan panjang-pendek musim hujan menjadi penentu tingkat kekeringan yang akan terjadi saat musim kemarau.

Dari catatan sejarah kehutanan, diperoleh informasi bahwa terjadi kerusakan hutan yang masif di kawasan Gunungkidul adalah karena adanya penebangan kayu jati di hutan Gunungkidul. Ini didorong adanya pertumbuhan hunian penduduk dan meningkatnya kebutuhan kayu untuk bangunan, perkakas, dan juga pembuatan kapal pada masa kerajaan Mataram, masa monopoli dagang VOC, dan diteruskan pada masa kolonial Hindia Belanda. Bahkan gambaran kering tandusnya Gunungkidul itu juga masih diungkap dalam film “wajib tonton” berjudul G30S/PKI di jaman Orde Baru dulu kala.

Praktis Gunungkidul memang menjadi sampel paling terkenal buat lahan kering tandus di Pulau Jawa. Padahal wilayah-wilayah lain di bagian selatan Pulau Jawa sebenarnya juga mengalami situasi sama saja. Terlebih apabila dibandingkan dengan wilayah Nusa Tenggara Barat/Timur, maka suasana kering tandus Gunungkidul itu belum separah sebagaimana terjadi di sana. Barangkali ini juga yang menyebabkan kejengkelan ketika ada orang yang mengejek “Gunungkidul kui larang banyu”.

Gerakan penghijauan atau meng-hutan-kan kembali kawasan Gunungkidul yang sangat fenomenal adalah pada sekitar tahun 80-an. Di mana pemerintah bersama masyarakat saiyeg-saekapraya melaksanakan penanaman kembali tanaman hutan di lahan milik masyarakat dan lahan hutan negara. Tujuan utama gerakan tersebut, selain sebagai konservasi kawasan hutan, juga ditujukan untuk mereduksi tingkat kekeringan atau kegersangan tanah Gunungkidul dengan meningkatkan tandon air dalam tanah.

Selain itu ada manfaat ekonomis dan finansial yang diperoleh masyarakat karena memiliki tanaman hutan pada lahan atau pekarangan mereka. Tanaman hutan yang paling populer di wilayah Gunungkidul adalah pohon jati atau teak-wood (tectona grandis lf) yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Pada saat Kabupaten Gunungkidul di bawah kepemimpinan Bupati Ir. R. Darmakum Darmokusumo (1974-1984), terdapat kebijakan yang fenomenal, yaitu Palakrama Jati dan Wiyata Jati.

Palakrama Jati adalah kebijakan yang mewajibkan setiap penduduk yang akan menikah untuk menanam pohon jati di tanah pekarangannya minimal 10 pohon. Sedangkan Wiyata Jati adalah kebijakan kepada sekolah-sekolah di wilayah Gunungkidul untuk menanam pohon jati pada lahan di lingkungan sekolahnya. Benar memang, menurut penuturan para orang tua di desa-desa, bahwa pasca tahun 80-an Gunungkidul sudah lebih ijo royo-royo dibandingkan era sebelumnya. Pun demikian, penduduk  jadi lebih terbiasa menanam jati pada batas-batas pekarangan atau pada galengan kebun olahannya itu sebagai celengan penopang hidupnya.

Manfaat pohon jati sebagai celengan sungguh dirasakan ketika mana penduduk memerlukan biaya untuk menyekolahkan anak, berobat, menikahkan anak-anaknya, merenovasi rumah, dan bahkan nyangoni material kayu ketika anak-anaknya membangun rumah. Barangkali saya menjadi bagian anak gunung yang beruntung karena program palakrama jati jaman dulu itu. Ketika membikin rumah mungil di tanah perantauan ini, bapak-ibu saya mengirimi kusen, daun pintu, dan balokan kayu jati hasil kebun sendiri di Gunungkidul.

Diluar manfaat ekonomis tanaman hutan rakyat itu, sebenarnya ada manfaat ekologis yaitu meningkatnya unsur hara dalam tanah dan meningkatnya akuifer atau cadangan air dalam tanah. Dengan demikian sumur, telaga, belik dan sungai memiliki cadangan air yang semakin meningkat. Masalah penyediaan air baku di wilayah Gunungkidul pada saat ini terlihat sudah semakin baik. Meski belum merata ke seluruh wilayah, penetrasi jaringan PDAM sudah masuk sampai wilayah-wilayah kecamatan dan perdesaan di sekitarnya. Hal ini ditopang dengan pengangkatan air dari sumber air sungai bawah tanah , seperti Goa Seropan, goa Ngembel, dan lain-lainnya. Juga dilakukan dengan pembuatan sumur dalam di beberapa lokasi yang kemudian didistribusikan ke lingkungan sekitarnya.

Di wilayah Gunungkidul sebenarnya juga terdapat pertanian dengan irigasi teknis atau setengah teknis dengan memanfaatkan aliran sungai di permukaan tanah, seperti di beberapa wilayah kecamatan, seperti: Patuk, Ngawen, Nglipar, Semin, Ponjong dan Karangmojo. Lahan pertanian kawasan ini rata-rata ditopang dengan pembuatan bendung (weir) sehingga hampir sepanjang tahun lahan di bawah bendung tersebut dapat diairi. Ijo royo-royo sepanjang tahun tentu dapat terlihat sepanjang musim di kawasan-kawasan seperti ini. Sampai saat ini, di wilayah Gunungkidul memang belum ada bendungan (dam) semacam Bendungan Gajah Mungkur di Wonogiri untuk keperluan pengairan, PLTA, dan juga pengembangan wisata.

Budi daya pertanian dengan pemanfaatan sumber air tanah dengan teknologi pemompaan air dan sumur bor pada saat ini nampaknya sedang marak dilakukan di berbagai tempat. Peningkatan hasil pertanian dengan teknologi ini barangkali sangat terasa dibandingkan dengan pertanian yang menggantungkan pada datangnya musim penghujan.

Nah, masalah krusial yang perlu dipikirkan bersama adalah bagaimana semua perlu menjaga kesetimbangan neraca hidrologi wilayah Gunungkidul. Intinya tingkat penggunaan (konsumsi) sumber daya air mesti harus mampu didukung dengan ketersediaan air yang semua bermuara pada siklus air hujan mesti termanfaatkan dengan baik. Yaitu air permukaan entah itu sungai, kolam, danau, embung, termasuk bak-bak penampung air, dan juga air dalam tanah yang diambil melalui sumur-sumur dangkal, sumur dalam/bor, maupun air yang tersimpan dalam goa/sungai bawah tanah.

Hitung-hitungan neraca hidrologis dapat dilakukan secara keilmuan. Namun, yang lebih mendesak dan penting dilakukan adalah langkah atau gerakan bersama untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan. Membuat kawasan tetap ijo royo-royo dengan mengatur sebaik-baiknya ketika mana mesti menanam dan merawat pohon, dan ketika mana menebang pohon dapat dilakukan.

Diluar itu tentunya tutupan lahan dengan bahan-bahan beton semen, aspal dan lain-lainnya perlu diatur secara optimal agar lebih banyak kesempatan air hujan itu meresap ke tanah daripada terbuang percuma ke sungai atau menguap.

Spread the love