Iklan kecap itu selalu nomor 1. Rasa-rasanya saya belum pernah nemu pabrik kecap yang menyebutkan produknya itu sebagai kecap kwalitet nomor 2, 3, 4, 5, dan seterusnya. Pokoknya, mengiklankan produk kecap pastilah nomor 1.
Kalau tidak nomor satu, ya pakai istilah lain yang tidak kalah moncer, yaitu kecap nomor wahid. Sesungguhnya nomor wahid itu nomor berapa, nggak ada yang tahu pastinya. Namun, pastilah terbayang nomor wahid adalah nomor paling atas, palis top, tidak ada yang bisa mengalahkan.
Rupanya kecap nomor wahid seperti inilah yang dipakai pabrikan kecap Sarico dari Purworejo, Jawa Tengah. Saya nemuin iklan kecap buatan Purworejo ini ini di Warung Soto Kadipiro Joglo Timoho 27 Yogya saat mengantar anak ujian sertifikasi kompetensi kerja konstruksi di salah satu kantor LSP di bilangan jalan tersebut.
Biasanya untuk mempertebal pesan sebagai kecap nomor nomor satu atau nomor wahid tadi, sering ditambahkan keterangan pabrik kecap ini telah memproduksi sejak tahun sekian. Seperti kecap Sarico ini menabalkan tulisan “Sejak 1957” sebagai titik awal produksinya. Ini jelas sebagai upaya meyakinkan bahwa kecap ini telah hadir di kalangan masyarakat sudah bepuluh-puluh tahun lalu. Sudah sejak jaman “orde lama” republik ini. Jadi, citarasa kecap ini sudah tidak perlu diragukan lagi.
Kapan tepatnya pabrik kecap ramai-ramai mengklaim nomor satu? Nampaknya belum ada jawaban yang memuaskan. Menyitir artikel yang ditulis Kompas.com, penelaah sejarah dari Komunitas Bambu, JJ Rizal, yang juga kolektor botol kecap lokal seantero Nusantara, menduga, klaim kecap nomor 1 dimulai sejak Pasar Malam Gambir digelar rutin di Batavia setelah 1921.
Dalam acara menyambut ulang tahun Ratu Belanda itulah kecap dari daerah Benteng Tangerang mendapat nama karena kelezatannya. ”Maka, sohorlah kecap asal Benteng sebagai kecap kwalitet nomor satu. Namun, kita tak tahu kecap Benteng mana yang dimaksud karena pemberitaannya tidak menyebutkan merek,” ujar Rizal. Mendadak sontak produsen kecap lainnya ikut-ikutan menyebut produknya sebagai kecap nomor satu sampai hari ini.
Mengapa pabrik kecap perlu ngecap soal mutu produknya? Persaingan yang amat ketat antar pabrik nampaknya yang menjadi pemicunya. Kita bisa bayangkan, hampir di semua kota atau kabupaten, terutama di Jawa, selalu ada kecap lokal. Saat ini ada lebih dari 100 merek kecap—sebagian sudah ada sejak sebelum kemerdekaan—yang masih bertahan di daerah. Beberapa di antaranya, yakni kecap THG di Kudus; kecap cap Blekok, Cilacap; kecap Nasional dan Cabe Gunung, Bekasi; kecap Segitiga, Majalengka; Meliwis, Buleleng; Bango, Subang; Echo, Bandung; Laron, Tuban; Lombok Gandaria, Solo; Piring Lombok, Semarang; Aneka Guna, Aceh; Ikan Lele, Pati; dan Kecap Tawon, Madiun. Kecap-kecap itu menjadi raja di daerah ”kekuasaannya” masing-masing yang biasanya hanya sebatas wilayah kabupaten, kota, bahkan kecamatan.
Saya pernah lama bermukim di kawasan Tangerang. Di sana kecap Benteng SH memang merajai pasaran. Kecap Benteng SH berkuasa terutama di Kota Tangerang. Hampir setiap meja pelanggan warung makan tersedia kecap merek ini. Semisal kita ini menelisik lebih dekat ke wisata kuliner khas Pecinan Pasar Lama Benteng, pedagang makanan hampir pasti hanya menggunakan dua merek kecap, yakni Benteng SH dan Benteng Cap Istana.
Di luar Tangerang, Benteng SH hanya beredar di beberapa titik di Jakarta Barat yang banyak dihuni peranakan Tionghoa. Di tengah persaingan yang sangat ketat itu, pabrik kecap menjaga konsumen setianya dengan terus ngecap bahwa produknya nomor satu.
Melihat kehadiran merek-merek kecap lokal di setiap perjumpaan pada warung makan atau restoran di setiap kota yang pernah saya singgahi, perjalanan iklan kecap ini nampaknya seperti perjalanan hidup merpati yang tak pernah ingkar janji. Setidaknya kecap nomor satu tak pernah ingkar janji: tetap manis atau asin seperti rasa yang ditawarkan.
Berbicara tentang iklan kecap ini, sesungguhnya juga menjadi pengingat dan sindiran buat diri sendiri. Kita terkadang juga mengiklankan diri seperti kecap, selalu mengecap diri menjadi nomor satu, nomor wahid. Menjadi pemberi layanan terbaik, pembuat produk terbaik, menjadi guru terbaik, menjadi pekerja terbaik, menjadi ASN terbaik, dan seterusnya lainnya dengan predikat terbaik.
Untuk kecap pasti konsisten, rasanya pasti manis atau asin seperti yang diiklannya. Sementara, untuk kita dan hasil kerja kita atau hasil layanan kita, maka orang lain atau penerima jasa atau penerima manfaatlah yang sesungguhnya bisa merasakan manis, pahit, asam asin yang bisa kita berikan.