Rai Hawu Sebutan Orisinil Sabu Raijua

Ini catatan perjalananku ke wilayah Kabupaten Sabu Raijua pada awal tahun 2013 silam. Rai Hawu adalah sebutan orisinil dari penduduk setempat untuk teritori pulau Sabu (Savu) yang kini bernama Kabupaten Sabu Raijua. Sebuah wilayah kabupaten di tengah lautan yang  terdiri dari 4 pulau dengan luas total 460,47 km2. Empat pulau tersebut adalah: Pulau Sabu, Pulau Raijua, Pulau Dana, dan Pulau Wadu Meda. Dua pulau tersebut pertama merupakan pulau berpenghuni sebanyak 74.403 penduduk (2011), sedangkan dua pulau lainnya tidak berpenghuni.

Kabupaten Sarai (Sabu Raijua) merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Sunda Kecil (Bali – Nusa Tenggara). Posisi tepatnya di sebelah timur Pulau Sumba dan di sebelah barat Pulau Timor dan Pulau Rote. Ditilik dari lintang-bujurnya, maka kabupaten ini termasuk dalam gugusan pulau terluar sebelah selatan Negeri Nusantara yang sekarang bernama Republik Indonesia. Wilayah kabupaten ini merupakan salah satu dari 21 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Rai Hawu berarti Tanah Hawu (Savu/Sabu). Orang Sabu menyebut dirinya dengan sebutan Do Hawu. Konon nama pulau ini berasal dari nama Hawu Ga, nama leluhur yang dipercayai mendatangi pulau ini pada mulanya. Menurut folklore di Sabu, nenek moyang orang Sabu berasal dari negeri jauh yang berada di sebelah barat Sabu. Negeri jauh itu diperkirakan adalah wilayah India Selatan.

Ini terindikasi dari syair-syair kuno dalam bahasa Sabu yang menyebut tempat bernama Hura, yang kemudian diyakini sebagai Kota Surat/Gujarat di India Bagian Selatan. Para pendatang dari India selatan ini menjadi penghuni pertama Pulau Raijua dengan pemimpin bernama Kika Ga dan Hawu Ga. Anak keturunan mereka kemudian menyebar mendiami Pulau Raijua dan Pulau Sabu.

Dari cerita tutur yang ada, masyarakat Sabu sangat menghormati Kerajaan Majapahit dan terutama Mahapatih Gajah Mada dan pasukannya di abad 13-14. Ekspedisi Palapa yang berupaya mempersatukan Nusa-Antara memungkinkan pasukan Majapahit singgah dan tinggal sementara waktu di Pulau Raijua dan Pulau Sabu. Beberapa artefak dan warisan non benda yang memperkuat hal tersebut antara lain adalah:

  • Cerita rakyat tentang pemberian penghormatan terhadap Raja Majapahit bahwa Raja Majapahit dan istrinya pernah tinggal di Ketita di Pulau Raijua dan Pulau Sabu.
  • Adanya kewajiban bagi setiap rumah tangga untuk memelihara babi yang setiap saat akan dikumpulkan sebagai persembahan kepada Raja Majapahit.
  • Adanya batu peringatan untuk Raja Majapahit yang disebut Wowadu Maja dan Sumur Maja di wilayah Daihuli dekat Ketita.
  • Setiap 6 tahun sekali diselenggarakan upacara oleh salah satu Udu (suku) di Raijua, Udu Nadega yang diberi julukan Ngelai yang menurut cerita adalah keturunan orang-orang Majapahit.
  • Adanya motif pada tenunan selimut orang Sabu yang bergambar Pura.

Di Mesara ada desa yang bernama Tana Jawa yang karakteristik penduduknya seperti orang Jawa dan ada tempat di dekat pelabuhan Mesara yang disebut dengan Mulie yang diambil dari bahasa Jawa Mulih yang berarti pulang.

Persentuhan orang Sabu dengan wilayah luar secara modern dimulai pada masa Hindia Belanda. Perjanjian tahun 1756 mengatur raja-raja di Sabu wajib menyediakan tentara bagi kepentingan Hindia Belanda bagi pertanahan militer di Kupang dalam membantu menghentikan perang antara kerajaan di Flores yang menyerang kerajaan di Sumba dalam upaya pencariaan budak. Percampuran orang Sabu dengan Sumba diawali dengan hubungan perkawinan raja di Sumba Timur dengan raja Sabu di Habba yang berkembang menjadi perkampungan di Sabu Timur.

Menurut catatan sejarah, Kapten James Cook penemu benua Australia ternyata pernah singgah di Pulau Sabu karena kehabisan perbekalan untuk perjalanan menuju Batavia pada tahun 1770. Rombongan James Cook dengan kapal HM Endeavour mendapatkan bantuan logiostik dari raja Sabu pada waktu itu Ama Doko Lomo Djara sehingga lancar melanjutkan pelayarannya.

Layaknya bagian dari gugusan pulau Sunda Kecil di bagian timur, maka kondisi wilayah Sabu Raijua didominasi dengan padang savana. Tekstur tanahnya sebagian besar merupakan tanah bebatuan karang kapur dengan ketinggian 0-100 meter di atas permukaan laut. Di sela-sela tanah bebatuan karang kapur itu terdapat tanah merah dan hitam tipis-tipis sehingga vegetasi tumbuh. Pohon paling populer di Sabu Raijua adalah pohon tuak dan pohon kelapa. Itulah mengapa sebagian besar masyarakat Sabu Raijua sebagian besar bertumpu hidupnya sebagai petani penyadap tuak/nira/siwalan untuk dijadikan gula merah cair dan butiran (gula semut). Pada waktu musim hujan, masyarakat petani memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan membudidayakan jagung, kacang tanah, kacang hijau, juga singkong.

Pada ceruk-ceruk dan cekungan-cekungan dataran rendah yang terdapat sumber air tanah, juga telah ada yang membudidayakan tanaman padi baik dengan sawah pengairan terbatas maupun sawah tadah hujan. Peternakan tradisional dengan cara dilepas di ladang bebas nampaknya menjadi tumpuan kedua setelah pertanian. Ternak yang ada meliputi: ternak sapi, kerbau, babi, kambing, domba dan ayam. Meski Sabu Raijua dikelilingi lautan, nampak jumlah nelayan di wilayah ini masih relatif sedikit. Budidaya kelautan masih terbatas, yang ada berupa budi daya tangkap ikan secara tradisional dan budi daya rumput laut.

Sifat ramah, jujur, gemar memberikan pertolongan nampaknya menjadi karakter khas orang Sabu Raijua. Sifat itu ditunjukkan kepada siapa saja, termasuk kepada pendatang baru di wilayah itu sekalipun. Kebiasaan menyapa, memberi salam dan senyum ketika bersua dan berpapasan menjadi penanda untuk itu. Sistem kekerabatan masih kental dan kebiasaan gotong royong dalam masyarakat begitu terjaga erat pada saat ada anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan satu sama lain, misalnya saat memperbaiki rumah, punya hajat, atau pada saat keluarga perlu bantuan. Ada memang cerita dan data hal-hal yang melanggar norma adat dan norma formal, tetapi nampaknya berupa deviasi yang lumrah terjadi dalam sebuah populasi dan tidak ada kejadian yang bersifat masif dan komunal.

Kabupaten Sabu Raijua sebelumnya merupakan wilayah kecamatan bagian dari Kabupaten Kupang. Wilayah Sabu Raijua sungguh terpencil dan tertinggal. Barangkali karena jumlah penduduk sebagai motor pegerakan yang masih sedikit, jauhnya jarak (200km) dari pusat pemerintahan kabupaten di daratan Pulau Timor, serta aksesibilitas yang masih sangat terbatas membuat geliat pergerakan pembangunan masyarakat masih relatif tertinggal dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Terbentuk daerah otonom bernama Kabupaten Sabu Raijua pada tahun 2008 nampaknya menjadi penanda menggeliatnya perkembangan sosio-ekonomi. Pembangunan SDM masyarakat Sabu Raijua utamanya generasi muda terus ditingkatkan. Ini dapat dilihat dari upaya penambahan unit-unit sekolah (SD, SMP, SMA/SMK) di masing-masing kecamatan. Kesadaran masyarakat Sabu terhadap pentingnya pendidikan sebenarnya sungguh luar biasa hebat.

Di tengah keterbatasan dan kesederhanaan, para generasi tua orang Sabu sudah membiasakan anak-anak mereka mengenyam pendidikan formal lebih baik dari generasi mereka. Tak jarang ditemui, ada banyak generasi orang tua penyadap nira dan pembuat gula mengumpulkan rejeki demi anak-anaknya bisa kuliah di Kupang atau di Jawa. Demikian pula dengan fasilitas kesehatan masyarakat masih terus dilengkapi dengan fasilitas puskemas dan puskesmas pembantu di masing-masing wilayah kecamatan.

Pembangunan dan pengembangan infrastruktur wilayah nampak sedang terus diupayakan dalam rangka meningkatkan pembangunan masyarakat Sabu Raijua, baik itu yang ditangani langsung oleh pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan program swakelola pemberdayaan masyarakat melalui PPIP dan PNPM Mandiri Perdesaan.

 

Spread the love