Singkong Rebus Ganjel Perut

Singkong rebus adalah makanan favoritku. Meski saat ini singkong memang bukan menjadi menu sehari-hariku, tapi begitu tersedia makanan yang terbuat dari singkong rasanya ada yang clegak-cleguk di tenggorokanku. Apalagi ketemu singkong rebus yang gembur, hmmm… nikmat rasanya. Beruntung di deket rumahku ada banyak penjual gorengan yang tak ketinggalan menyediakan gorengan singkong rebus kesukaanku.

Ya, singkong tampaknya memang merupakan bahan makanan cukup populer. Terbukti di manapun banyak dijumpai singkong dengan berbagai macam varian produknya. Yang paling merakyat barangkali mulai dari singkong rebus, singkong rebus digoreng, singkong keju yang dijual dengan gerobak di pinggir-pinggir jalan. Ini bisa dijumpai mulai dari gang sempit di kawasan Ciledug sampai di area sekitar CBD Sudirman-Thamrin. Gatot, cenil, tiwul, dan sejenisnya juga bisa dengan mudah dijumpai di setiap pasar-pasar rakyat sampai pasar modern. Produk dari singkong yang lebih mentereng pun juga ada, seperti:keripik singkong balado Christine Hakim dari Padang, keripik singkong krispi keluaran Indofood group, dan lain-lainnya. Sewaktu melakukan studi banding ke Airport Authority of Thailand di Chiang Mai, aku sempat dibuat keheranan karena singkong rebus plus mentega dan semacam gula jawa yang dicairkan pun ternyata justru menjadi menu istimewa yang disajikan secara luxurious di hotel dan restoran di sana.

Entah mengapa aku suka sekali dengan makanan yang terbuat dari singkong. Mungkin ini terkait dengan asal-usulku dari Gunungkidul. Wilayah yang dulu terkenal sebagai daerah miskin tandus, yang mana singkong dulunya pernah berjaya menjadi penopang kehidupan masyarakat di sana sebagai bahan pokok pangannya. Betul memang, aku masih ingat sewaktu kecil singkong adalah produk andalan daerahku itu. Singkong dan gaplek rasanya benar-benar menjadi ikon daerahku itu. Aku teringat, sewaktu sekolah di Yogyakarta pun banyak kawan-kawanku yang menjulukiku sebagai anak singkong atau anak gaplek.

Dalam keluargaku, singkong memang menjadi makanan favorit. Hampir setiap hari keluargaku tak lupa menyajikan makanan yang terbuat dari singkong itu. Aku teringat, hampir setiap pagi ibuku menyajikan singkong rebus yang ketika masih ditanak di kuali diberi gula jawa atau gula pasir sehingga rasanya manis dan gurih. Sore-sore ketika hujan menjadi meriah dengan singkong atau ketela yang dibakar sampai matang. Sebelum menyantapnya, singkong bakar kudu “dikerik” sampai bersih dulu kulit luarnya yang gosong. Singkong atau ketela bakar menjadi terasa sangat nikmat di lidah tatkala menyantap disertai dengan kacang tanah yang masih mentah. Kebiasaan menyantap singkong rebus dan singkong bakar itu tampaknya menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh generasi sebayaku dahulu. Sajian dari singkong yang agak lebih mewah di jamanku adalah gethuk. Ya, gethuk selalu aku peroleh tatkala hari pasaran setiap hari Wage dan Legi. Gethuk adalah oleh-oleh wajib yang dibawa ibuku dari pasar di kampungku.

Singkong rebus atau gethuk benar-benar menjadi menu sarapan bagi keluargaku. Meski hanya dengan singkong rebus atau gethuk, ayah-ibuku memang membiasakan anak-anaknya untuk sarapan sebelum sekolah. Istilah yang kukenang pada waktu dulu adalah sebagai “ganjel weteng” supaya tidak “kelingsir” mengikuti pelajaran di sekolah. Sebenarnya, sebagai guru pegawai negeri sipil, ayah dan ibuku juga menerima pembagian beras dari negara. Ayahku menerima 30kg jatah beras untuk meng-cover 3 jiwa (ayahku, aku dan adikku pada waktu itu), sedangkan ibuku menerima jatah beras 10kg. Saat-saat yang aku dan adikku nanti-nantikan adalah pada saat menjelang THB atau ujian semester, karena pada saat itu pasti orang tuaku menghidangkan sarapan dengan menu nasi putih, lauk tahu tempe atau telur dadar. Bagiku mendapatkan jatah telur dadar adalah puncak kenikmatan sarapan, meskipun satu telur dadar itu pun masih dibagi menjadi dua atau empat bagian.

Aku menjadi mengerti kenapa ayah dan ibuku tetap menyajikan singkong dan getuk itu dalam keseharian dan menyajikan nasi beras hanya untuk makan siang dan makan malam. Ya, karena jatah beras itu musti di-“pantha-pantha” dan di-“wet-wet”. Disisihkan sebagian untuk membantu sanak saudara dalam keluarga besar kami di kampung dan juga di-irit-irit supaya tidak habis sampai bulan berikutnya. Hasil di-irit-irit kadang bisa dibarter dengan keperluan rumah tangga lainnya, sehingga gaji ayah dan ibuku bisa terjamin untuk memenuhi segala keperluan termasuk keperluan sekolahku dan adik-adikku. Ya, sebuah upaya menegakkan tiang rumah tangga pada jamannya.

Aku beruntung dengan pembiasaan ayah dan ibuku untuk mengkonsumsi produk makanan dari singkong itu. Ketika aku bertugas ke pedalaman seringkali musti siap untuk menyantap sajian makanan seadanya. Aku tidak kaget apalagi mengalami kram perut, ketika yang tersaji hanyalah singkong rebus, umbi-umbian, atau keladi. Filosofi “ganjel weteng” terasa sangat manjur untuk menghadapi kondisi seperti ini, dan tidak menyantap nasi pun tidak banyak berpengaruh kepada kondisi fisik tubuh.

Spread the love