Teluk Dorehkar Raja Ampat

Dorehkar dalam bahasa setempat di Pulau Ayau berarti “danau”. Ya, Kampung Dorehkar memang berada di tepi laut yang menjorok ke daratan sehingga airnya berasa tenang tiada berombak, layaknya danau atau embung di sebuah daratan. Yang memperlihatkan Dorehkar sebenarnya pantai adalah adanya pasang surut yang sangat kentara sebagai ekologi pantai. Penduduk lokal mengistilahkan pasang dengan nama “meti”. Saat “meti” adalah saat perahu atau speed boat dapat melakukan pergerakan untuk berangkat atau sandar di Teluk Dorehkar, karena perairan teluk tersebut memang sangat dangkal.

Teluk Dorehkar berada di Pulau Ayau. Satu dari gugusan pulau-pulau terluar di wilayah Kabupaten Raja Ampat yang berhadap muka dan berbatasan langsung dengan Republik Palau di lautan Pasifik. Pulau Ayau seluas 200 m2 dihuni oleh 1.374 jiwa. Secara administratif, wilayah Pulau Ayau merupakan sebuah distrik. Distrik adalah sebutan khas unit wilayah di Papua untuk sebuah wilayah kecamatan. Ada 5 kampung atau desa di Pulau Ayau. Jangan bayangkan seperti desa di Pulau Jawa yang penduduknya berkisar ribuan sampai puluhan ribu. Di wilayah ini ada kampung dengan jumlah warganya 160 jiwa, kampung dengan warga terbanyak tercatat 357 jiwa.

Tidak ada motor, sepeda atau mobil di pulau ini. Jadi kalau mau bepergian ke manapun ya mesti berjalan kaki. Kalau jauh ya bisa saja dengan motor tempel atau speed boat menyusur pantai, baru dilanjutkan berjalan kaki masuk ke perkampungan yang rata-rata ada di tepi pantai. Sudah ada jalan yang mengubungkkan antar kampung. Nampaknya semula hanyalah jalan setapak yang kemudian dicor rabat beton beberapa tahun terakhir melalui program PNPM Mandiri Perdesaan.

Mata pencarian penduduk di Ayau adalah sebagai nelayan. Mereka menangkap ikan di perairan sekitar pulau yang memang memiliki beragam kekayaan ikan laut. Sering kali penduduk juga “mencari daging” di pulau sebelah. Istilah “mencari daging” sebenarnya adalah menangkap penyu laut. Barangkali karena daging penyu sedikit berbeda dibandingkan ikan laut pada umumnya. Hasil tangkapan laut biasanya untuk keperluan konsumsi sehari-hari. Selebihnya dijual keluar pada saat ada kapal dagang keliling yang membeli ikan dari penduduk setempat atau dijual ke Kabare, kota kecil di Pulau Waigeo yang lebih ramai kegiatan perdagangannya.

Meski termasuk kawasan terisolir di pulau-pulau terluar, anak-anak muda wilayah Ayau pada umumnya sudah mengenyam pendidikan dengan baik. Ada 3 sekolah dasar di sana, 1 unit SMP dan 1 unit SMA. Yang menarik, terdapat rumah-rumah kayu kecil semacam camp di samping Kantor Distrik. Ternyata rumah-rumah tersebut merupakan pondokan anak-anak dari Pulau Reni, Pulau Rutun dan Pulau Fani di sebelah utara Ayau. Mereka bersekolah SMA di Ayau karena belum ada sekolah SMA di pulau-pulau terluar di sebelah utara itu.

Mobilitas masyarakat Pulau Ayau dan pulau-pulau terluar di sebelah utara memang masih terbatas, terkendala masih minimnya sarana dan prasarana transportasi. Modal utama mereka bepergian saat ini adalah adanya pergerakan kapal-kapal perintis yang melayari antar pulau. Bepergian dengan speed boat, kapal kayu atau long boat memang bisa cepat, tetapi konsumsi bahan bakar yang tidak sedikit dan juga tidak murah menjadi kendala dan tantangan tersendiri dalam menunjang mobilitas fisik penduduk setempat.

Penduduk di wilayah Pulau Ayau memiliki karakter ikatan kebersamaan yang kuat. Itu ditunjukkan dengan ikatan marga atau fam yang tertanam kuat baik dalam pernak-pernik tradisi yang terjaga kuat maupun dalam ikatan gotong-royong saling membantu kesulitan di antara keluarga dalam satu fam tersebut. Di Pulau Dom dekat Kota Sorong ada banyak fam Imbir yang berasal dari Pulau Ayau. Di sanalah mereka saling memberi tumpangan menginap ketika bepergian, bantu-membantu anak yang sekolah/kuliah di kota atau manakala ada anggota keluarga yang harus berobat dan lain sebagainya.

Satu hal lagi. Bahwa masyarakat Pulau Ayau juga merasa menjadi bagian dari wilayah NKRI. Kesulitan-kesulitan fasilitas hidup sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Mereka di wilayah perbatasan sebenarnya telah paham Wawasan Nusantara dan nasionalisme ke-Indonesia-an itu. Karena itu, saatnya tidak menciderai jiwa luhur itu dengan segala perilaku sombong sok paling tahu, perilaku korup, egois dan boros-borosan BBM, dan boros-borosan sumber daya kehidupan lainnya.

***

Ditulis dari catatan perjalanan ke Pulau Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, Oktober 2013 lalu.

Spread the love